55. Perasaan yang tak akan berubah

248 23 4
                                    

-HAPPY READING-

Libur kenaikan kelas akhirnya usai. Para murid kembali ke sekolah, bersemangat menerima kelas baru mereka.

Begitu pula dengan Nafika. Wajahnya tampak datar ketika memandang ke dalam kelas, mengamati teman-temannya yang telah "membooking" bangku untuk mereka masing-masing.

Sebenarnya, tidak ada yang aneh dengan tindakan teman-temannya mencarikan bangku untuk Nafika. Namun, yang membuatnya tertegun di tempat adalah kehadiran seorang berandalan yang dulu menghuni kelas buangan, kini entah bagaimana bisa merangkak naik ke kelas yang sama dengannya.

"Yo, Fii!" sapa Reo dengan nada santai, wajahnya menampilkan senyum puas saat melihat ekspresi kaget Nafika.

Dengan langkah mantap, Nafika berjalan mendekati bangkunya yang terletak di barisan belakang. Bangku Nafika dan Anna berada di deretan kedua paling belakang, sementara Reo dan Rega duduk tepat di belakang mereka.

"Kok bisa lo pindah?" tanya Nafika sambil meletakkan tasnya di atas meja, nada suaranya penuh ketidakpercayaan.

"Loh? Kata Reo lo sendiri yang minta," sahut Anna, yang duduk di sebelahnya, ikut campur.

Nafika menepuk dahinya pelan, mengingat bahwa beberapa waktu lalu, ia memang pernah bercanda berharap sekelas dengan mereka.

"Udah gua bilang, misi kecil begini mah gampang!" Reo menyombongkan diri dengan nada puas.

Rega, yang duduk di sebelah Reo, hanya diam sambil asyik mengupil. Pemandangan itu membuat Nafika tak tahan, dan tanpa ragu, ia memukul wajah Rega dengan tasnya.

"Jorok, sialan!" Nafika bergidik jijik, wajahnya menunjukkan rasa muak. Aneh, tapi ia merasa seperti mengalami déjà vu.

"Ajaran Reo tuh!" tuding Anna tanpa basa-basi, membuat Nafika seketika ingat dari mana perasaan déjà vu itu muncul. Dulu, saat dirinya dan Reo tertangkap basah mencuri mangga, Reo pernah melakukan hal yang sama-mengupil sembarangan.

"Dia sepenuhnya udah gua angkat jadi murid gua. Nanti gua bikinin surat keterangan resmi," kata Reo dengan santai, menepuk-nepuk bahu Rega seolah dia adalah mentor yang bangga.

"Sakit, bangsat!" gerutu Rega, menepis tangan Reo dengan kesal sebelum melanjutkan aktivitas joroknya.

Nafika hanya bisa memijat pelipisnya, merasa stres melihat dua orang gila itu duduk bersebelahan di kelas yang sama. Rasanya, satu semester ke depan akan menjadi cobaan berat baginya.

Anna, yang duduk di sebelah Nafika, menyenggol lengannya dengan tawa kecil. "Gak usah sok stres. Gue dulu lebih stres ngadepin lo sama Rega."

Nafika hanya menyengir, kemudian ia kembali menghadap ke depan. Matanya melirik Saga yang baru saja masuk ke kelas. Ternyata, Saga kembali satu kelas dengannya, begitu juga dengan Karin.

"Saga, seandainya gue minta tolong sama lo, bakalan ditolongin nggak ya?" batin Nafika, dalam hati bertanya-tanya.

Selama liburan, Nafika diam-diam berusaha mencari informasi tentang dirinya dan Reo, namun tidak menemukan satu pun celah atau petunjuk yang berarti. Segala jejak seolah telah dihapus, membuatnya merasa seolah-olah semuanya rapi dan bersih.

Ekor matanya menangkap Reo yang bertingkah jorok bersama Rega di belakang kelas. Nafika merasa pikirannya mulai hanyut, bertanya-tanya apakah dia yang sebenarnya membuat hidupnya menderita.

-dear nafika-

"Woah!" Mata Nafika berbinar saat ia menatap pohon mangga yang baru mulai berbunga. Setiap bunga yang muncul tampak seperti janji akan buah manis di masa depan.

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang