35. Menunggu untuk sia-sia

704 56 19
                                    

-HAPPY READING-

"Kenapa Fika harus menginap di tempat lain, Ma?" Nafika bertanya dengan nada heran.

Aira tersenyum tipis sambil mengelus kepala putrinya. "Pokoknya jangan pulang sebelum Mama kabarin, oke?"

"Tapi—"

"Ssttt ... Nggak ada penolakan, Nafika." Aira menempelkan jarinya di bibir Nafika, lalu memandang Reo. "Tolong bawa Nafika pergi. Tante akan melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang ibu."

Reo langsung mengerti maksud Aira. Meski ragu, dia menarik lengan Nafika pelan. "Ayo, Fii."

Nafika menatap ibunya dengan kebingungan. Apa maksud perkataan itu? Kenapa dia tidak boleh pulang ke rumah? Namun, Aira mendorong putrinya untuk segera pergi.

"Segeralah, Fika," ucap Aira mendesak, matanya penuh rasa sayang sekaligus kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.

Akhirnya, Nafika menyerah. Dia mengambil tasnya dan pergi bersama Reo. Langkahnya terasa berat, pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar tanpa jawaban. Hatinya resah.

"Kenapa gue boleh pulang? Apa maksud Mama tentang diperlakukan seperti budak?" Nafika memikirkan itu semua sambil sesekali menoleh ke arah ibunya yang semakin menjauh.

Di tengah kebisuannya, Nafika memperhatikan Reo yang berjalan cepat sambil menggenggam tangannya erat. Wajah Reo tampak tegang dan serius. Nafika mengingat apa yang baru saja dikatakan Reo sebelumnya, tentang fakta bahwa dia adalah salah satu anak kecil dalam foto yang mereka temukan.

"Reo?" Nafika memecah keheningan.

"Kalau mau nanya, nanti aja," jawab Reo tanpa menoleh, suaranya datar namun jelas menahan sesuatu.

Nafika hanya bisa mendesah dan membisu seperti yang diminta Reo. Mungkin sekarang memang bukan saatnya untuk bertanya.

Keduanya menuruni tangga, melewati aula tempat pesta ulang tahun Saga masih berlangsung. Keriuhan para tamu terus berlanjut, seolah kejadian yang tadi terjadi tidak lagi menjadi perhatian.

Namun, Nafika masih merasa malu dan sedikit menundukkan kepalanya, teringat betapa kekanak-kanakannya perilaku yang ia tunjukkan sebelumnya. Jika para tamu melihatnya sekarang, mereka mungkin akan mencemoohnya.

Namun, tanpa diduga, Reo melepas jasnya dan menyelimutkan ke kepala Nafika.

"Nggak perlu takut, Fii. Selama ada gua, siapa pun yang coba merendahkan lo, gua pastikan keluarganya bangkrut," ucap Reo dengan nada tegas, namun senyum nakalnya masih menghiasi wajah tampannya.

Nafika tersenyum, meskipun air mata masih membayang di matanya. Ia tertawa kecil, merasakan ketenangan yang aneh meskipun hatinya masih berkecamuk.

"Iya deh, kalau Tuan Muda 'kan beda," balas Nafika dengan nada menggoda, mencoba menyembunyikan keresahannya di balik candaan.

Mereka tertawa pelan, berjalan di antara para tamu yang sibuk dengan percakapan masing-masing. Nafika memandang sekeliling, mencari sosok yang telah mengisi pikirannya selama ini—Saga.

Namun, langkah Nafika terhenti ketika matanya menangkap pemandangan yang menusuk hatinya.

Reo ikut berhenti, mengikuti pandangan Nafika. Di sana, di sudut ruangan, Saga sedang memeluk Veya dengan erat. Nafika hanya bisa berdiri mematung, hatinya tersayat melihat pemandangan itu. Reo segera menutup matanya dengan tangan.

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang