58. Gemuruh Riuh Luka

164 23 5
                                    

-HAPPY READING-

Langit yang mendung akhirnya menumpahkan hujan, membasahi bumi dengan lembut, seolah ingin menyamarkan tangisan yang kini menyatu dalam kesunyian. Setiap tetes air yang jatuh dari langit membawa duka, membaurkan perasaan kehilangan yang menyelimuti hati.

Dan sekali lagi, seseorang yang berharga bagi anak laki-laki itu pergi, meninggalkan jejak luka yang tak terhingga dalam dadanya.

Sore itu, kediaman keluarga Dirga dipenuhi oleh duka yang begitu dalam, seakan-akan udara sendiri bernafas dalam kesedihan. Kegelapan sore menyelimuti rumah itu, menghadirkan suasana suram yang menyayat hati.

Atas permintaan Nafika dan Saga, untuk menghormati jasa Bibi Dera yang telah merawat mereka dengan penuh kasih sayang, seluruh urusan pemakaman ditanggung oleh keluarga mereka.

Bibi Dera, sosok yang telah menjadi pelita bagi mereka selama ini, kini pergi meninggalkan kenangan yang hanya bisa dikenang, bukan lagi dirasakan.

Di tengah kepedihan yang begitu pekat, Anna mendekati Nafika, yang terduduk lesu di sudut ruangan, memandangi tubuh Bibi Dera yang kini telah tertutup kain putih.

"Fika ... tetap kuat, ya?" bisik Anna lembut, mencoba memberi kekuatan di tengah badai perasaan yang melanda.

Nafika menghela napas panjang, tatapannya kosong, seakan tak lagi mampu menangkap kenyataan di sekitarnya.

"Lo tahu apa yang paling sakit, Ann?" tanyanya lirih, dengan suara bergetar. "Ketika kita ditinggal pergi oleh orang yang gak pernah kita duga akan pergi secepat ini."

Anna menggigit bibirnya, menahan perih di hatinya sendiri. "Gue ngerti, Fika. Tapi ini bukan waktunya buat terus tenggelam dalam kesedihan. Bibi gak akan tenang kalau ngeliat lo gini. Dia pasti mau lo tetap kuat."

Tak lama kemudian, Rega datang mendekat, ikut prihatin melihat Nafika yang semakin lemah.

"Lo dari kemarin gak makan apa-apa, kan?" tanyanya, cemas melihat wajah Nafika yang pucat pasi, seakan dilumat oleh kelelahan dan kesedihan.

Kata-kata itu menggantung di udara, sementara Nafika hanya diam, tenggelam dalam kepedihan yang semakin pekat.

Mata Nafika menyapu sekeliling dengan gelisah, mencari dua sosok yang begitu ingin ia lihat, tempatnya mengadu dan meluapkan segala sakit yang menghimpit hati.

Namun, yang ia nanti tak kunjung tiba. Aira dan Dirga, dua orang terdekatnya, tak pernah muncul—bahkan hanya untuk sekadar mengucapkan selamat jalan pada sosok yang telah setia melayani mereka sepanjang hidupnya.

"Seandainya aku di posisi Bibi, apa kalian juga tetap gak akan datang?" bisiknya pelan, suara itu nyaris tenggelam dalam ruang hampa di sekitarnya.

Bawah matanya semakin gelap akibat malam-malam tanpa tidur, sementara kelopaknya bengkak oleh air mata yang tak kunjung berhenti mengalir, hingga kini, seakan tangki air mata di tubuhnya telah mengering.

"Ternyata hidup sebajingan ini kalau urusan hati," Nafika tertawa pahit, suara tawanya lebih seperti serpihan perasaan yang retak. Dia berdiri dengan susah payah, mengabaikan tatapan cemas Anna dan Rega yang sejak tadi berusaha menguatkannya.

Dengan langkah gontai, Nafika berjalan tanpa tujuan, membiarkan tubuhnya yang lemah melayang seolah tak memiliki kendali. Hingga pada satu titik, tubuhnya hampir saja ambruk, kalau saja tak ada seseorang yang menahan tubuhnya tepat pada waktunya.

"Jangan buat gua ikut hancur lihat lo begini, Fii," bisik suara yang begitu familiar, suara yang selalu berhasil menenangkan. Reo merengkuh tubuh Nafika, memberikan pelukan yang ia butuhkan.

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang