39. Maaf yang tak seberapa

601 65 10
                                    

"Aku hanya pergi, bukan meninggalkan. Sebenarnya hati ini, ingin slalu bersamamu."

~Ekhsan

-HAPPY READING-

Nafika menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri di depan pintu UKS. Di dalam, Saga sedang diobati akibat luka yang diterimanya dari Reo.

"Jangan nangis di depan dia," tegur Reo dengan nada tegas.

Nafika menoleh, mendapati Reo berdiri tegak dengan tatapan lurus ke depan. Nafika mengangguk pelan sebelum menundukkan kepala. Dia tahu, jika dia menangis, itu hanya akan membuat Saga semakin tenggelam dalam rasa bersalah.

Dengan mantap, Nafika meraih gagang pintu dan mendorongnya perlahan. Reo tetap tinggal di luar, memberinya ruang untuk berbicara dengan Saga tanpa gangguan.

Di dalam ruangan, Nafika melihat Karin sedang mengoleskan obat pada luka Saga. Nafika tersadar bahwa gadis itulah yang merawat Saga. Ketika pintu terbuka, kedua orang itu menoleh ke arahnya.

Tatapan Saga tetap dingin—tak ada ekspresi terkejut, senang, atau bahkan khawatir. Wajahnya datar, seolah-olah dunia luar tak berpengaruh sedikit pun pada dirinya.

"Gue mau ngobrol berdua sama dia, bisa lo keluar?" Nafika berkata penuh penekanan, menatap Karin yang balas memandangnya dengan tatapan tak suka.

Karin terlihat ingin membantah, namun Saga meletakkan tangannya di lengan Karin, memberi isyarat agar dia keluar. Dengan enggan, Karin menurut, meski saat melewati Nafika, dia sengaja menyenggol bahu Nafika dengan kasar.

Di dalam hati, Nafika mendidih, mengutuk perlakuan Karin, tetapi dia menahannya. Balas dendam bukanlah prioritasnya sekarang. Fokusnya hanya pada satu hal—Saga. Lelaki itu tetap duduk di kursi, merawat lukanya sendiri dengan ekspresi yang nyaris tak berubah.

"Gue mau ngomong sesuatu," Nafika akhirnya memecah keheningan, suaranya sedikit bergetar, mencoba mengatasi rasa takut yang menggelayuti hatinya.

Saga tetap diam, sesekali meringis saat jarinya menyentuh luka yang perih, namun dia tidak menoleh ke arah Nafika.

"Gue tahu, lo pasti kesal sama gue... atau bahkan benci," Nafika menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan perasaan yang mengganjal di dadanya. "Tapi..."

Nafika terdiam sejenak, tenggorokannya terasa kering, seolah kata-kata yang ingin dia ucapkan tertahan di ujung lidahnya. "Gue cuma mau minta maaf."

Saga mengangkat kepalanya sedikit, tetapi tetap tak menatap Nafika secara langsung. Dengan nada datar, dia berkata, "Kalau cuma mau ngomong omong kosong, keluar aja. Gue nggak dalam suasana buat dengerin."

Kata-kata itu menghantam Nafika keras seperti tamparan. Omong kosong? Nafika tengah berusaha memperbaiki semuanya, dan ini balasan yang dia terima?

"Pergi," ucap Saga dingin, seolah menyuruhnya tanpa rasa peduli.

"Enggak! Gue nggak mau keluar!" Nafika berteriak, suara tegasnya memecah keheningan ruangan.

Saga akhirnya mendongak, menatap Nafika dengan tajam. Dia bangkit dari tempat duduknya, meletakkan peralatan obat, lalu berjalan menuju pintu. "Kalau lo nggak mau keluar, gue yang keluar."

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang