23. Terlambat untuk berhenti

1K 90 3
                                    

-HAPPY READING-

Nafika berkali-kali merasa kepalanya ingin tertunduk karena menahan kantuk yang semakin tak tertahankan. Di depannya, makan malam yang masih utuh tidak tersentuh. Namun, dia bertahan menunggu satu hal—kehadiran Saga.

Nafika telah memantapkan hati untuk makan malam bersama Saga kali ini. Selain itu, dia ingin bertanya mengapa Saga bersikap seperti orang asing. Tapi sejak makanan dihidangkan, Saga tak juga muncul di meja makan.

"Dia beneran nggak mau ketemu gue lagi, ya?" Nafika bergumam pelan, tatapannya terpaku pada pintu kamar Saga yang terlihat dari tempatnya duduk.

Bibi Dera, yang sedari tadi mengamati Nafika dengan tatapan kasihan, telah mencoba membujuk Saga untuk turun dan makan bersama. Tapi jawaban yang mereka dapatkan hanyalah penolakan yang dingin dan tegas.

Rasa kesal mulai mendidih dalam diri Nafika. Dia berdiri dan menggebrak meja dengan kedua tangannya. "SAGAAA!!! Kalau lo nggak turun sekarang, gue beneran nggak mau makan sampai kapan pun!"

Suara Nafika menggema di ruangan yang sepi. Nafika menggertak lagi, kali ini lebih keras. "Gue makan di luar! Gue bakalan makan makanan nggak sehat!"

Tangannya terkepal erat, matanya menyipit marah. Nafika terus melampiaskan amarahnya dengan ancaman, bermain-main dengan sendok dan garpu. "Atau gue gunain garpu ini buat bikin leher gue jadi sate!"

Tak lama setelah Nafika mengancam, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.

Saga:
Makan. Gue udah makan di luar.

Nafika mendengus kesal, jari-jarinya cepat mengetikkan balasan.

Anda:
Gue mau makan bareng lo! Gue telan garpu nih kalau lo nggak turun.

Saga:
Jangan kekanak-kanakan bisa?

Nafika hampir berteriak, semakin frustrasi. "Gue beneran telan garpu loh!" ancamnya lagi, kali ini lebih keras.

Dia menoleh ke Bibi Dera yang berdiri tak jauh dari sana, meminta bantuannya untuk mendukung ancaman yang dibuatnya. "Iyakan, Bi? Fika mau nelen garpu nih!"

Bibi Dera menghela napas berat sebelum mengangguk. "Turunlah sebentar, Saga. Temani Fika makan."

"Tuh! Dengerin Bibi!" Nafika merasa puas karena didukung.

Namun, meski Bibi Dera sudah membantu membujuk, tetap saja Saga tidak memberikan tanggapan. Baik dengan kata-kata maupun pesan. Nafika akhirnya menyerah dengan helaan napas panjang.

Saga memang sering bersikap cuek dan menolak cintanya, tapi sikap dingin dan seolah bermusuhan seperti ini adalah hal baru. Nafika tak mengenali lagi sosok yang dulu ia ketahui. Saga yang setelah lupa ingatan adalah sosok yang cuek tapi tetap peduli, tidak seperti sekarang, yang tampak benar-benar tak acuh.

Suara mobil yang memasuki pekarangan rumah menarik perhatian Nafika. Itu pasti Aira dan Dirga yang baru kembali dari luar negeri. Nafika segera bangkit, berlari kecil dengan harapan mereka bisa menegur Saga karena mendiamkannya.

"Mama! Papa!" Nafika menyapa antusias saat mereka memasuki rumah dengan wajah kelelahan. Meski lelah, mereka tetap tersenyum padanya.

Aira mengecup dahi Nafika dengan lembut. "Kenapa belum tidur? Sudah larut sekali."

"Saga, Ma! Dia nyuekin Fika," adu Nafika dengan nada seperti anak kecil yang mengadu setelah diperlakukan tidak adil.

Senyum Aira perlahan memudar, wajahnya tampak sedikit dingin. "Di mana Saga?"

Dear Nafika Badbaby Sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang