24

72K 7.5K 148
                                    

"Baru tadi diingetin buat nggak mikir sembarang, ini malah makin menjadi-jadi," gumam Razan dengan pandangan mata yang tertuju pada Raina yang berjalan dengan kaki yang gadis itu hentak-hentakkan. Tanda Raina sedang kesal.

•••

Raina terus saja menatap ke arah Razan yang sibuk dengan laporan yang sedari tadi ia cek. Mungkin beberapa laporan yang membahas tentang kerja sama dengan perusahaan lain.

Raina menghela nafasnya dan manampilkan raut wajah kesal,

Razan melirik setelah mendengar helaan nafas kasar dari arah sampingnya,

"Kenapa?"

Raina tidak berniat sedikit pun untuk membalas pertanyaan dari sang suami. Kenapa? Kenapa apanya! Dasar tidak peka!

Razan menutup laptopnya lalu memutar badannya sedikit ke arah Raina dan tersenyum.

"Raina kenapa?" tanya Razan dengan lembut, tak lupa memainkan rambut panjang milik sang istri, Raina tak ingin memotong rambutnya selama kehamilannya, tapi ia tetap merawat rambutnya dengan setiap bulan ke salon dan ditemani oleh suami tercinta.

"Gak," ketus Raina sambil melepaskan rambutnya dari tangan Razan,

"Maaf yah? Laporan perusahaan lagi banyak-banyaknya, apalagi tugas yang dikasih dosen juga numpuk," keluh Razan yang membuat Raina semakin cemberut.

"Razan gimana kalau gue berhenti kuliah aja?" tanya Raina yang membuat Razan menggeleng keras.

"Jangan, emang berhenti karena apa?"

"Gue nggak mau ngerepotin lo terlalu banyak, gue bisa langsung kerja di perusahaan Papi, terus lo nggak perlu kerja proposal gue juga,"

Yah! Karena selama ini, setiap ada tugas kuliah, Razan tidak membiarkannya bekerja sendiri, ia selalu melarang, dan mengerjakan tugasnya, meskipun Raina terus menolak, tapi Razan tetaplah Razan.

"Gue masih bisa biaya in lo sampai kapan pun! Lo nggak perlu kerja, apalagi berhenti kuliah cuman karena hal kayak gitu!" Razan berusaha meredam emosi yang kini sudah berada di ujung kepalanya.

"Gue nggak mau lo kenapa-kenapa, makanya gue ngelakuin semua yang berpotensi bikin lo bahagia, dan nggak stress sampai ngeganggu janin yang lo kandung,"

"Please, lo ngerti in gue, gue ngelakuin ini bukan buat diri gue, tapi buat lo! Gue nggak mau lo nyesel karena nikah sama gue," cicit Razan sambil menundukkan kepalanya.

Selama pernikahan, Razan selalu ingin terlihat bahagia di depan Raina, karena ia ingin membuat wanita itu bahagia dan tidak tertekan karena pernikahan mereka.

"Gue juga capek Ra. Gue capek sama semua ini, jadi tolong lo hargain usaha gue yang mau buat lo seneng dan bahagia selama nikah sama gue,"

"Lo cukup duduk manis, temenin gue, semangatin gue, udah selesai! Cuman itu yang harus lo lakuin," pinta Razan yang membuat Raina menggeleng keras,

"Oke! Kalau untuk lo kerja cari nafka, gue bakal terima, karena itu memang tugas lo sebagai kepala keluarga, tapi tolong! Tugas kuliah gue, biar gue yang urus, lo nggak boleh ngeganggu dan bantuin gue kalau gue nggak minta bantuan," Razan melirik ke arah tangan mungil Raina yang terulur ke arahnya, sebenarnya ia tak rela, tapi mungkin hal ini membuatnya lebih memiliki waktu beristirahat,

"Kalau lo nggak mau, gue bakal berhenti kuliah, dan milih jadi sekertaris lo aja," putus Raina,

Razan dengan cepat menarik tangan Raina, dan menggenggamnya erat.

"Yang penting lo janji nggak kecapekan, dan terus jaga kesehatan lo sama baby." ucap Razan sambil mengelus sayang perut buncit milik Raina,

Tidak terasa empat bulan lagi, ia sudah dinyatakan menjadi seorang ibu, membuat Raina kadang merasa cemas sekaligus geli di waktu yang sama, cemas karena takut tidak bisa menjadi ibu terbaik, dan geli kalau ia mengingat hal yang membuatnya menikah dengan Razan di usia muda.

"Zan?"

"Iyaa,"

"Mau makan nasi goreng sama telur mata sapi, tapi buatan lo," Razan mengangguk dengan cepat, yah! Ini yang selalu ia tunggu-tunggu, momen dimana Raina mengidam dan ia ucapkan padanya.

"Oke, ayo ke dapur," ajak Razan sambil menggandeng Raina menuju dapur mereka.

Setelah sampai di dapur bersih, Razan langsung menuntun Raina untuk duduk di kursi makan, dan meminta agar Raina tidak ikut memasak, karena takut sang istri terkena minyak panas.

Raina setia mengamati pergerakan Razan yang lincah memotong bahan-bahan makanan, terlihat sangat profesional, entah dari mana lelaki itu belajar.

Kini Raina menatap lapar ke arah piring yang berisi nasi goreng dengan dua telur di atasnya.

"Kok, telurnya ada dua?"

"Sapi punya berapa mata?"

"Dua,"

"Tapi lo minta telur mata sapi, jadi gue bikinin dua," kekeh Razan yang membuat Raina tersipu malu, entah malu karena apa,

Raina menggeser piringnya ke arah Razan dengan kepala yang menunduk.

"Suap?" Raina mengangguk pelan,

"Hai kenapa?" tanya Razan saat mendengar suara isak tangis yang berasal dari sampingnya.

"Raina nggak mau makan telur," Raina mengusap pelan air matanya sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Razan.

Razan berangsur mendengar dan mengelus sayang pipi mulus yang bertambah tembem milik sang istri,

"Cup-cup, Raina kenapa?"

"Kasian ayam, calon anaknya kita makan," pecahlah sudah tangis milik Raina yang membuat Razan bingung harus berbuat apa, karena ia tahu saat ini sang istri sedang dalam mode sedih,

"Jadi telurnya nggak mau dimakan?"Raina mengangguk pelan yang membuar Razan menyingkirkan kedua telur itu dari piring Raina dan memindahkannya ke piringnya,

Raina mulai berhenti menangis dan meminta Razan untuk menyuapinya, hanya nasi goreng tanpa telur.

Raina dengan semangat menerima suapan dari sang suami yang dengan sabar menyuapinya yang terkadang bercerita tentang hal-hal yang tidak penting,

"Habis," ucap Razan yang diangguki Raina,

"Raina juga udah kenyang,"

Razan tersenyum lalu mulai mengelus sayang puncak kepala Raina,

"Razan, Raina mau shopping, boleh?" Razan mengangguk sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya sendiri,

"Tapi bareng," lagi-lagi Razan kembali mengangguk membuat Raina menggerutu kesal.

"Abis makan," Razan menoleh sebentar lalu mengangguk.

"Gue siap-siap yah sekarang?"

"Tunggu gue selesai makan, baru lo bisa berdiri,"

Raina menurut dan menarik piring Razan mendekat ke arahnya,

"Gue suapin yah?"pinta Raina dengan wajah memelas,

"Iyaa," Raina menyuapi Razan dengan pelan, sambil terkekeh saat Razan dengan sengaja menahan sendok dengan menggigitnya,

"Udah!" pekik Raina sambil tersenyum ke arah Razan, begitu pun Razan yang membalas senyuman sang istri,

Razan menuntun Raina menuju tempat cuci tangan.

"Ayo shopping,"Razan mengangguk sebelum menggandeng Raina menuju kamar mereka yang berada di lantai dua, ia berencana saat usia kehamilan Raina memasuki tujuh bulan, ia akan pindah sementara ke lantai bawah sampai wanita itu melahirkan. Mencegah hal buruk terjadi,

Raina mengganti baju rumahnya dengan dress longgar begitu pun Razan yang memakai baju yang berwarna sama dengan sang istri.

"Razan, ayo!" ajak Raina yang membuat Razan gemas sendiri dengan tingkah lucu wanitanya.

"Ayo, jangan lari," ucap Razan yang dibalas anggukan cepat oleh sang istri.

•••

Follow ig @andivariraa (private)
Ig @navarira, buat liat spoiler-spoiler cerita ini, dan cerita Navariraa yang bakal up minggu depan yah❤️

Kok Kita Nikah?[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang