31

59.1K 6.2K 195
                                    

"Karena dia, punya Ayah dan Bunda yang hebat," lanjut Razan sambil mengelus sayang perut buncit milik sang istri.

•••
Follow ig @navariraa buat lihat Spoiler "Gretta" dan juga Kok  Kita Nikah?'

Raina menatap kesal ke arah Dini yang menelponnya Razan tadi pagi, yang membuat tidurnya terganggu.

Dini benar-benar memerlukan urat malu tambahan, menelepon suami orang di pagi buta, hanya untuk ditemani ke toilet, wah! Dikasi hati malah minta jantung.

"Makasih yah, Zan," ucap Dini sambil tersenyum. Raina menggerutu dengan tangan yang ia lipat di atas perut buncitnya,

Razan mengangguk sebelum berjalan menghampiri Raina,

"Razan, pulang kuliah kamu temenin aku di sini, yah?"

Belum sempat Razan menolak, Dini kembali mengeluarkan suaranya, "Mama lagi nyusul Papa di Bandung, mungkin besok baru pulang, aku sendiri, satu hari aja kamu nginep di sini. Nggak ada yang bantuin aku, kaki sama tangan aku masih sakit,"

'Makanya jangan bertingkah,'

Razan menggeleng, "Nginep gue nggak bisa, gue punya istri, nggak mungkin, kan? Gue biarin istri gue yang lagi hamil, sendiri di rumah?"

Entah hanya perasaan Raina yang mendengar kata 'istri' yang diucapkan Razan, sengaja lelaki itu tekan, dan menambah kesan tegas di dalam kalimatnya.

"Ooh gitu, setidaknya sampai malam kamu temenin aku di sini, aku cuman percaya sama kamu, kita kan temen masa kecil, bahkan sebelum kamu kenal Raina, kita udah lebih dulu main bareng,"

Razan melirik ke arah Raina sebelum kembali mengeluarkan suaranya.

"Razan bakal temenin lo di sini, tapi lo juga harus sadar diri. Dia udah punya istri. Terserah, mau lo temen kecil pun, inget tempat lo nggak bisa disamain sama gue." Belum sempat Razan membalas ucapan Dini, Raina lebih dulu bersuara, yang membuat Razan memilih mengurungkan niatnya.

Razan melirik ke arah Raina yang tampak serius dengan pandangan lurus ke arah Dini yang membalas tatapan Raina.

"Iya, Ra. Gue sadar di—"

"Kalau lo sadar diri dan tau batasan, tolong lo tunjukin. Cewe cantik nggak boleh gatel, apalagi murahan." Dini menatap Raina dengan tatapan geram, jelas-jelas Raina telah menyinggungnya di depan Razan. Lebih sialnya lagi, ia sangat tersinggung, namun harus tetap terlihat bersalah.

"Iya Ra," Raina tersenyum sinis sebelum menggandeng tangan Razan untuk keluar dari ruang inap Dini,

Setelah menutup pintu ruangan bernuangsa putih itu, Razan langsung terkekeh dan menarik hidup mancung milik Raina.

"Istri aku belajar kata-kata kayak tadi dari mana sih?" goda Razan yang membuat Raina menatapnya dengan serius.

"Itu bukan kata-kata biasa, ini udah jadi peringatan pertama kalau kamu itu punya aku. Kalau dia ngerti, dan paham, aku nantinya nggak perlu bertindak. Karena kamu punya aku," Razan berdehem saat merasa tatapan Raina lebih dingin dan tajam dari pada saat gadis itu merajuk atau marah.

"Iya-iya, Razan cuman punya Raina. Dan bakal terus jadi milik Raina," Razan tersenyum menenangkan sebelum mencium lembut tangan Raina.

"Ayo, nanti telat," ucap Razan sambil menarik pelan tangan itu untuk berjalan.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, karena memang rumah sakit dan juga kampus berlawanan arah, membuat mereka harus lebih lama di dalam mobil,

Razan terus saja menggenggam erat tangan sang istri yang memandang lurus ke arah jalanan, tanpa mengeluarkan kata-kata.

"Setelah baby lahir, aku pengen belajar ngatur keuangan," ucapan Raina sukses membuat Razan melirik ke arahnya, sebelum mengangguk menyetujui.

"Seluruh gaji kamu harus masuk ke rekening aku,"

"Iya, nanti kasi tau Papi aja," Razan tidak ambil pusing dengan permintaan Raina kali ini, cukup masuk di akal, memang sudah tugas istri mengatur keuangan keluarga, bukan?

"Kalau kamu butuh, kamu minta dan izin ke aku dulu," Razan terkekeh sebelum mengangguk.

"Aku bakal nyiapin buku buat catat pengeluaran selama sebulan,"

"Kamu setuju, kan? Nggak keberatan, kan?" Razan belum menjawab pertanyaan Raina, karena sedang mencari tempat parkir untuk mobilnya.

Setelah memarkir mobilnya pada tempat parkiran di kampusnya, Razan mencium tangan Raina, "uang aku, uang kamu. Kalau kamu mau, nanti pas Papi udah pensiun, semua aset yang dikasi ke aku, buat kamu aja."

Raina menggeleng, "nggak perlu, aku nggak ngerti urus perusahaan, cukup keuangan aja. Nah! Salahnya aku, kita nggak sempet bikin surat Pra Nikah,"

"Apa sih, Na? Kenapa malah ngomong kayak gitu, sayang?"

Raina menunduk sebelum melepas tangannya dari genggaman Razan dan membuang pandangannya keluar jendela,

"Aku kepikiran aja, kamu ganteng, muda, kaya, siapa yang nggak mau? Kamu sebenernya lebih cocok sama Dini, kalau dilihat dari segi mana pun,"

"Bener kata orang, aku beruntung karena nikah sa—" belum sempat menyelesaikan ucapannya, Razan lebih dulu memotong.

"Siapa yang bilang? Aku yang beruntung dapetin kamu, Na. Aku! Kamu wanita yang berharga di hidup aku, kamu wanita kuat. Kamu pengen bukti?" Razan menarik pelan dagu Raina,

"Kamu berani tanggungjawab, kamu ngandung baby di usia 17 tahun. Kamu jadi istri yang sempurna untuk aku. Aku yang beruntung,"

"Kamu boleh catet nama orang-orang yang ngatain kamu, nanti aku datangin satu-satu." Raina menggeleng pelan.

"Udah yah?"

"Btw, aku punya saran. Gimana kalau kamu cuti dulu sampai baby lahir? Itu pun kalau kamu mau, kalau nggak mau, nggak papa. Aku nggak maksa,"

Ucapan Razan membuat Raina menatapnya polos sebelum memikirkan keuntungan jika ia mengambil cuti.

"Kalau cuti, aku bisa tidur sampai siang?" Razan mengangguk.

"Nggak belajar?" Razan kembali mengangguk.

"Ya udah deh, cuti aja. Insecure juga, jalan di koridor kampus ditemenin perut buncit aku,"

Razan mengerti dengan kata 'insecure' yang diucapkan Raina.

Memang sejak kehamilannya memasuki usia tiga bulan, wanita itu benar-benar tidak pernah menggunakan celana ketat, dan baju ketat, dengan alasan 'malu dengan perut buncitnya' tapi dibalik kalimat itu, tersimpan makna, bahwa Raina tak ingin anak mereka tertekan karena pakaian yang ia gunakan. Hanya saja, Raina selalu menutupi rasa itu karena gengsi. Berbeda dengan Razan yang secara terang-terangan mengungkapkan rasa sayangnya pada calon anak mereka.

Tak jarang juga, Razan mendengar suara Raina yang berbicara sendiri sambil mengelus perutnya di saat malam hari. Mungkin karena sering terbangun di malam hari, dan susah untuk tertidur kembali. Membuat Raina lebih sering berkomunikasi dengan baby dengan suara bisikan, karena takut mengganggu Razan yang tertidur pulas. Tanpa Raina tahu, Razan juga ikut bangun saat merasa pergerakan di sampingnya.

"Oke, nanti aku urus izin cuti kamu kalau gitu," Raina mengangguk dan tersenyum.

"Iya, tapi kalau kamu ke kampus aku sendirian dong?"

"Iya, tapi kan kuliahnya cuman tiga kali seminggu. Kalau ke kantor kamu boleh ikut kapan pun kamu mau,"

"Kalau kamu ke kampus, titip aku ke Mama aja yah?"Razan mengelus puncak kepala Raina dan tersenyum sebelum keluar dan membukan mobil untuk sang istri.

Kok Kita Nikah?[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang