Chapter 52

478 93 4
                                    

Bian masih duduk di ranjangnya sambil menatap sendu pada koper hitam di depannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bian masih duduk di ranjangnya sambil menatap sendu pada koper hitam di depannya. Wajahnya masih pucat, terlihat dari bibirnya yang tidak lagi mengeluarkan rona merah.

Semalam, setelah hujan-hujanan pulang dari rumah Avian dan kos Tiaia, Bian terserang demam, untung malamnya bibi memberi obat dan mengompresnya, sehingga penerbangannya pagi ini tidak terganggu.

Jam dinding di kamar itu masih menunjukkan pukul delapan pagi, dan beberapa saat yang lalu Bian sudah menghubungi Avian untuk mengantarnya ke Bandara.

Tiba-tiba pesan dari ponsel yang berada di saku jeans laki-laki itu berbunyi, satu pesan WhatsApp dari Avian terlihat di pop up ponselnya, dengan cepat Bian membuka pesan itu.

Avian:
Gue udah di bawah, bareng bokap lo dan Jian.

Setelah membacanya, Bian menghela panjang, dan segera mengetikkan sesuatu di keyboard ponselnya.

Albianza:
Ok, bentar lagi gue turun.

Setelah pesan terkirim, tanpa menunggu Avian membacanya, Bian segera bangkit dari duduknya, dan kembali memasukkan ponsel itu ke saku jeans-nya.

Koper hitam yang sejak tadi di depannya ia raih, lalu dengan cepat berjalan menuju pintu. Sebelum menarik hendelnya, Bian kembali menoleh ke belakang, menatap kamarnya itu lama, poster-poster motor sport, ranjang, lemari, meja belajar, ditatapnya bergantian.

Beberapa saat kemudian, barulah pintu ia buka, dan hanya suara roda koper saat bergesekan dengan lantai yang terdengar setelahnya.

Sesampainya di bawah, tiga orang yang tengah duduk di ruang tamu langsung menyorotinya dengan tatapan sendu. Ketiganya lantas berdiri, dan memperpendek jarak mereka dengan Bian. Jian kembali terisak dalam rangkulan Pamungkas, sementara Avian hanya menunduk.

Sebenarnya Jian dan papanya sudah tahu tentang rencana kepergian Bian ke London, di hari Bian akan pergi ke Sabana Camp beberapa waktu yang lalu.

Pagi itu, Jian yang baru selesai membantu Bian membereskan barang-barang yang akan Bian bawa ke Sabana Camp, tidak sengaja menemukan berkas yang terletak di atas meja belajar Bian saat laki-laki itu sedang mandi.

Setelah membacanya, Jian mengamuk dan mempertanyakan apa maksud surat itu sambil terus menangis histeris. Karena Jian sudah melihat berkas-berkas itu, akhirnya pagi itu Bian menjelaskan pada Jian dan papanya tentang keputusannya untuk ke London.

Keputusan itu Bian ambil karena tidak sengaja mendengar pembicaraan papanya bersama adeknya itu di kamar Jian.

Saat itu pintu kamar Jian tertutup rapat, Bian pikir gadis kecil itu masih tertidur pulas, namun saat hendak membangunkannya, langkah Bian terhenti tepat di depan pintu kamar, saat ia tak sengaja mendengar suara tangisan Jian dari dalam.

"Jian ngga mau ke London, Pa. Jian ngga suka, Jian takut, Pa." Ujar Jian pada Pamungkas.

Bian terdiam mematung dengan posisi tangan yang dia biarkan menggantung di depan pintu.

Di luar jangkauan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang