Chapter 43

444 86 4
                                    

Suasana malam ini begitu cerah dan sejuk, mungkin karena sehabis diguyur hujan dari siang sampai sore tadi, yang membuat udara di malam harinya terasa begitu segar, bahkan bau rumput dan tanah masih tercium pekat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suasana malam ini begitu cerah dan sejuk, mungkin karena sehabis diguyur hujan dari siang sampai sore tadi, yang membuat udara di malam harinya terasa begitu segar, bahkan bau rumput dan tanah masih tercium pekat.

Langit begitu terang dan dipenuhi ribuan bintang, di tengah-tengah area perkemahan terdapat danau yang sekarang memantulkan cahaya bulan. Di sekeliling danau sudah terpasang tenda warna-warni milik anggota music camp, yang baru mereka pasang sore tadi setelah hujan reda.

Arena perkemahan itu dikelilingi oleh pohon Ketapang sebagai pembatas area perkemahan dengan hutan lindung. Pohon itu dipenuhi oleh monyet-monyet jinak yang bergelantungan sambil memakan biji Ketapang.

Suasana sangat hening, hanya suara kodok dan jangkrik yang terdengar bersenandung ria di alam, sesekali angin malam berhembus menggoyangkan atap beberapa tenda yang sudah seperti kunang-kunang dari kejauhan.

"Hai, sendirian aja?" tanya Bian sambil duduk di sebelah Tiaia.

Tiaia yang sejak tadi duduk di titian kayu yang terbentang sekitar lima meter ke tengah danau, hanya menatap Bian yang tiba-tiba datang.

"Masih marah?" tanya Bian.

"Masih," jawab Tiaia tanpa mengalihkan pandangannya pada pantulan bulan di tengah danau.

"Maaf," ujar Bian tulus.

Bian bukan tipe yang akan meminta maaf, meski itu adalah kesalahannya, namun entah kenapa Tiaia berhasil membuatnya minta maaf berkali-kali.

Tiaia hanya mengangguk, lalu ia menatap Bian yang sekarang juga tengah menatap ke arahnya. Netra Tiaia terlihat begitu indah tertimpa cahaya bulan, yang membuat pikiran dan hati Bian tiba-tiba bergejolak, kenapa jantungnya berdebar? Perasaan apa yang tengah ia rasakan ini?

"Gue mau ngomong," ujar Bian dan Tiaia bersamaan.

Setelahnya terjadi keheningan beberapa saat, sebelum akhirnya mereka tertawa kecil saat menyadari sama-sama mengucapkan kata yang sama.

"Lo duluan," ujar Tiaia

Bian menggeleng, "No, ladies first."

Tiaia menghela berat, "Maaf untuk semuanya yah, sejak kita pacaran gue sering nyusahin lo, ngambek, sering marah, banyak maunya, gue lupa lo juga punya kehidupan lo sendiri," ujar Tiaia sambil menunduk menatap air danau yang sesekali beriak tertiup angin.

Bian menghirup napas panjang, "Lama-lama gue terbiasa kok," ujarnya.

Tiaia tersenyum kecut, "Kenapa lo setuju buat jadi pacar gue?" Tanya Tiaia.

Bian terdiam, kalau ia jawab yang sejujurnya, akan kah Tiaia mendorongnya ke danau saat ini juga? Atau apakah gadis itu akan menamparnya berkali-kali?

"Karena gue mau," jawab Bian.

"Itu doang?" tanya Tiaia dengan alis bertaut.

"Lo ngga cinta sama gue? Ngga sayang?" tanya Tiaia penasaran.

Di luar jangkauan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang