Chapter 33

460 92 9
                                    

Bian duduk mematung di salah satu kursi bar di lantai dua fantasia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bian duduk mematung di salah satu kursi bar di lantai dua fantasia. Ia sama sekali tidak terganggu oleh tatapan cewek-cewek sexy yang sejak tadi memandanginya takjub.

Bahkan satu-dua perempuan yang mendatanginya hanya untuk sekedar berkenalan diacuhkan oleh laki-laki itu.

Fantasia terdiri dari tiga lantai, di lantai satu terdapat lantai dansa, bar serta panggung tempat DJ memainkan musiknya, sedangkan di lantai dua hanya ada bar dan dua ruangan private room yang sisanya berada di lantai tiga. Setidaknya ada delapan private room di lantai tiga.

Meskipun Bian tidak terlalu sering ke fantasia, tapi dia adalah pengunjung VVIP yang tidak perlu reservasi dulu sehari sebelumnya. Meskipun biaya registrasi yang dia keluarkan cukup fantastis.

Alasannya cuma satu, tidak mungkin dia ingin ke fantasia sekarang tapi perginya besok, karena besok mungkin dia sudah tidak menginginkannya lagi. Seperti saat ini, Bian hanya ingin minum sampai mabuk untuk menenangkan isi kepalanya yang berkecamuk.

Tadinya ia hanya akan minum di bar lantai satu, tapi karena terlalu berisik, ia memutuskan untuk pindah ke lantai dua. Sebotol wine di depannya yang sejak tadi sudah ia pesan, hampir tandas.

"Bian, kita perlu bicara," tiba-tiba suara Avian bergema memecah keheningan.

Avian yang juga berada di fantasia, menyadari kehadiran Bian di sana, ia hanya menatap laki-laki itu dari jauh sampai akhirnya ia tidak tahan lagi melihat betapa kacaunya sahabatnya itu saat ini, bahkan sudut bibir laki-laki itu pecah, juga ada memar di kening sebelah kirinya, ia kemudian memutuskan untuk menghampiri Bian.

Bian hanya diam saat melihat Avian segera duduk di sampingnya, sambil meminta gelas wine pada Bartender.

"Gue lagi males ngomong," jawab Bian ketus.

"Lo ngga perlu ngomong, cukup dengerin ucapan gue," ujar Avian sambil mengambil gelas wine yang disodorkan Bartender.

"Lo mau ngomong apa?" tanya Bian.

Avian menghela, lalu mengisi gelasnya dengan cairan berwarna merah gelap itu.

"Berantem lagi sama April?" tanya Avian.

Bian masih diam, lantas meraih gelas wine dan meneguknya pelan, sambil menyipitkan mata karena sensasi pahit dan asam yang menggerayangi lidahnya, "Bukannya gue udah bilang, gue males ngomong."

Avian ikut meneguk winenya, "Gue tahu lo masih peduli ke gue, buktinya waktu nenek gue meninggal, gue ngeliat lo nangis di samping kamar rawatnya, bahkan gue tahu lo diam-diam datang ke pemakamannya."

Ucapan Avian itu menarik penuh atensi Bian, matanya membeliak, ia tidak menyangka Avian akan mengetahuinya, padahal ia sudah sangat hati-hati agar Avian tidak tahu.

Avian berdecak sambil tersenyum kecut, "Kita udah berteman lama banget Bi, ngga mungkin gue ngga tahu gimana lo." 

Mendengar itu, Bian mendengkus, "Kita lebih baik ngga berteman sejak awal."

Di luar jangkauan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang