Avian membaringkan Bian di atas springbed dengan alas kasur putih, napasnya masih tersenggal, tapi setidaknya ia berhasil mengangkat Bian seorang diri dari lobby sampai ke kamar ini, meskipun dengan perjuangan yang luar biasa, berhenti sebanyak lima kali sebelum akhirnya sampai.
Keringat Avian bercucuran, meski malam sangat dingin dan kamar itu juga dilengkapi pendingin ruangan, tapi sama sekali tidak berpengaruh terhadapnya, dadanya naik turun, bibirnya kering dan kerongkongannya perih, ia butuh air namun terlalu penat untuk mengangkat kaki ke lemari pendingin yang berada di pojok kiri kamar hotel itu.
Avian masih duduk di tepi ranjang sambil mengatur deru napasnya, sedangkan Bian tampak benar-benar telah tertidur pulas, warna merah yang tadi di wajahnya mulai pudar, rambutnya berantakan, kemeja hitamnya kusut dan bahkan snikers-nya masih terpasang di kaki.
Avian menghela napas panjang sebelum akhirnya membenarkan posisi tidur Bian, lalu membukakan sepatu yang masih melekat di kaki laki-laki itu dan menyelimutinya dengan Bedcover yang juga sewarna dengan alas kasurnya.
Setelah itu, ia beranjak menuju lemari pendingin dan mengambil sebotol air lalu ditegugnya perlahan sampai hanya menyisakan separuh, kesegaran benar-benar mendominasi kerongkongannya saat ini.
Lalu ia kembali melangkah menuju Bian, ditatapnya wajah tenang laki-laki itu, "Bayi besar yang menyebalkan," ujar Avian sambil tersenyum.
Dalam keadaan tidur atau tidak, Bian benar-benar selalu terlihat tenang. Tidurnya pulas dan terlihat nyaman sekali, meski beberapa kali ia mendengkus karena mabuk yang masih menguasainya.
"Tumben lo minum sampai mabuk Bi," ujar Avian.
Suasana begitu sunyi, hanya suara napas Bian yang terdengar beraturan memenuhi kamar itu.
Lagi-lagi Avian menghela, "Gue pulang yah Bi. Takut nenek khawatir," ujarnya sambil bangkit dari duduknya, namun tiba-tiba tangan Bian menghentikannya.
Tangan hangat itu menggenggam kuat jemari Avian yang membuat laki-laki itu menoleh dengan kening berkerut.
"Jangan tinggalin gue," ujar Bian lemah dengan mata yang masih tertutup.
Avian berdiri mematung, dan membiarkan Bian menggenggam tangannya. Air mata Bian mengalir dari ekor matanya, bahkan sampai ketelingannya.
Tangan Avian semakin kuat digenggamnya, Avian menyeka air mata Bian dengan tangannya yang bebas, lantas menegadah memandang langit-langit kamar, karena entah kenapa melihat sahabatnya itu menangis, matanya ikutan panas.
"Jangan tinggalin gue, seperti yang mama lakukan. Mama pergi bersama laki-laki lain ninggalin papa, gue dan Jian. Malam itu mama dan papa bertengkar, gue menyaksikan pertengkaran mereka, sedangkan mata Jian, gue tutup dengan tangan gue. Gue takut Vi, gue benci mama, gue benci perempuan itu. Kenapa dia datang dalam hidup papa lalu melahirkan gue dan Jian jika hanya untuk pergi?" ujar Bian terisak dan air matanya semakin mengalir deras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di luar jangkauan (END)
Ficción General⚠️[CERITA INI BELUM DIREVISI!] Perjuangan cinta gadis gengsian bernama Tiaia Rosaline, yang dipaksa ke luar dari zona nyaman oleh para sahabat gilanya demi mendapatkan cinta pria yang sudah lama ia kagumi ternyata tidaklah semudah yang ia bayangkan...