Wajah Tiaia kusut, sekusut tali sneakers yang tengah ia coba rapikan sekarang. Tiaia sedang mencoba memasang tali sepatunya meski pikirannya tidak di sana, lalu mencoba tetap tenang meski benaknya berkecamuk.
Sejak pertengkaran dengan Bian seminggu yang lalu, laki-laki itu tak pernah mengabarinya sama sekali, hal itu membuat sedikit banyak mengurangi endorfin di dalam tubuhnya, yang membuat Tiaia selalu murung akhir-akhir ini.
Bahkan saking murungnya, makannya tak enak, tidurnya tak lelap, di kepalanya hanya Bian dan pertanyaan kenapa laki-laki itu tak sekali pun menanyakan kabarnya, di kampus Tiaia sering melihat Bian, namun seperti biasa, laki-laki itu selalu dikelilingi fansnya di mana pun ia berada, hal itu membuat Tiaia cukup sulit untuk menemui Bian.
Menjadi pacar Bian membuat Tiaia sangat bahagia, tapi ternyata kebahagiaan yang Tiaia rasakan hanya sebenar, bahkan belum hitungan bulan sejak ia dan Bian memutuskan menjalin hubungan. Meski pun tidak banyak yang mengetahui hubungan mereka, Tapi memiliki Bian di sisinya saja sudah membuat Tiaia bahagia, meskipun kadang harus menelan sakit saat Bian di dekati gadis-gadis yang tidak tahu kalau status Bian sudah berpacaran dengannya.
Saat Tiaia minta maaf, Bian bahkan tidak memperdulikannya, setiap ada masalah, meski bukan Tiaia yang salah tapi gadis itu yang selalu minta maaf duluan, hanya karena takut kehilangan Bian. Mencintai dalam diam itu menyakitkan, tapi ternyata ada yang lebih sakit dari itu, mencintai sendirian. Tiaia membayangkan, jika ia tetap mencintai Bian dalam diam seperti sebelumnya, mungkin sakitnya tidak akan sedalam ini.
Tiaia menghela napasnya berat, sneakers hijau lumut sudah terpasang di kakinya, diliriknya jam tangannya sekilas, saat itu sudah pukul dua siang, dan tujuannya adalah studio musik, untuk menghadiri pertemuan dengan anggota club musik dalam rangka membahas kegiatan musik camp yang hampir dekat.
Saat kakinya baru melangkah beberapa langkah di teras kos, tiba-tiba hujan lebat turun dengan sangat deras. Ah, lengkap sudah penyebab kekesalan gadis itu sekarang, sepertinya semesta bersekongkol untuk menambah kelabu di hatinya.
"Sempurna," desisnya dengan mata menatap butiran hujan dengan nanar.
Saat menunggu hujan, pikirannya tiba-tiba mengingat payungnya yang belum jadi dikembalikan April, padahal waktu itu ia sudah bilang untuk langsung membawa payung keropinya itu. Tapi bukannya mengembalikan payungnya, laki-laki itu malah sibuk mengombalinya.
Tiaia mungkin tidak akan peduli jika yang dibawa April payung yang lain, dan ia juga tidak akan sengotot ini memintanya kembali. Tapi tidak untuk payung keropi itu, payung itu sangat berharga bagi Tiaia.
Tiaia kemudian merogoh ponsel di tas sandangnya, lalu dengan cepat menelepon April tanpa peduli betapa lebatnya hujan saat ini.
"Wow! Mimpi apa gue sampai di telepon lo gini?" tanya April dari seberang telepon.
Meskipun suaranya tertutup oleh derasnya hujan, tapi Tapi masih dapat mendengarnya meskipun samar.
"Dimana lo!?" tanya Tiaia berteriak, takut April tidak bisa mendengar suaranya, karena hujan begitu lebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di luar jangkauan (END)
General Fiction⚠️[CERITA INI BELUM DIREVISI!] Perjuangan cinta gadis gengsian bernama Tiaia Rosaline, yang dipaksa ke luar dari zona nyaman oleh para sahabat gilanya demi mendapatkan cinta pria yang sudah lama ia kagumi ternyata tidaklah semudah yang ia bayangkan...