Chapter 28

491 103 7
                                    

Selang beberapa lama sejak Tiaia meninggalkan kamar rawat Bian, seorang suster masuk sambil membawakan nampan berisi makan siang untuk laki-laki itu.

"Ini makan siang dan obatnya yah mas," ujar Suster sambil meletakkan nampan berisi obat dan makan siang untuk Bian.

Bian yang sejak tadi sibuk melamun ke luar jendela menoleh, kemudian ia mengangguk.

"Makasih Sus," jawabnya singkat.

Suster itu mengangguk, saat ia hendak meninggalkan kamar Bian, ia kembali menoleh.

"Oh iya mas, masih ingat cowo yang saya bilang salah kamar tadi pagi?"

Pertanyaan itu seketika menarik atensi Bian, kemudian laki-laki itu mengangguk.

"Ternyata kamar saudaranya di lantai bawah, tadi pas saya lewat di koridor, saya liat dia lagi nangis, kayaknya saudaranya itu meninggal."

Deg!

Bian terdiam, dadanya tiba-tiba sesak, napasnya kian memburu, pikirannya langsung tertuju pada Avian. Kemudian ia bangkit dari kasurnya, dan meraih infus dari tiangnya, lalu membawa botol infus itu berlari dengan tubuh yang masih mengenakan piama rumah sakit dan sendal jepit, ia bahkan tidak peduli akan kebingungan suster wanita itu.

"Eh mas! Mau ke mana?" teriak suster, tapi Bian tidak menoleh lagi dan tetap berlari sekencang yang ia bisa, meski dengan tubuh yang masih lemah.

"Semoga yang Suster itu maksud bukan lo Avi," batin Bian sambil terus berlari.

Langkah Bian terhenti di depan kamar rawat nenek Avian, pintu kamar itu tidak tertutup sempurna, dan ia bisa melihat Avian yang tengah duduk dengan wajah pucat dan mata sembab, tidak jauh dari laki-laki itu, terbaring tubuh yang sudah ditutupi kain putih.

Bian menutup cepat mulutnya, takut Avian mendengar tangisannya, air mata laki-laki itu mengalir begitu saja dari kedua matanya, tubuh Bian bergetar hebat, tangannya bahkan sudah mencengkram botol infus dengan sangat kuat.

"Nek, kenapa ninggalin Avian?" terdengar suara Avian dari dalam kamar.

Bian semakin tak kuasa membendung air matanya, yang membuat hatinya lebih sakit, ia tidak bisa memeluk Avian sekarang di saat ia sangat ingin melakukannya.

"Maafin gue Avi," gumam Bian di sela isak tangisnya.

"Kenapa semuanya ninggalin Avian, nek?" tanya laki-laki itu pada tubuh yang sudah terbujur kaku di depannya itu.

"Bian nyuruh Avian pergi dari hidupnya, sekarang nenek juga pergi nyusul mama yang udah lebih dulu pergi ke surga, papa juga ninggalin Avian pergi sama keluarga barunya, kenapa semuanya ninggalin Avi, kenapa!?" teriak Avian tercekat.

Bian hampir tidak bisa menahan tubuhnya mendengar kata-kata itu, ia ingin berlari ke arah Avian dan mengatakan ia akan selalu ada untuk laki-laki itu, tapi kakinya tidak bergerak sejengkal pun, tangisnya makin pecah, getaran di tubuhnya semakin kuat.

Bian kemudian bergeser dari pintu dan bersandar ke dinding dan terus menutup mulutnya sambil menangis sesegukan, botol infus di tangannya ikut bergetar hebat, lantas laki-laki itu terduduk di lantai rumah sakit yang dingin sambil terus menangis tanpa henti.

******

Raungan dari beberapa motor begitu mengusik ketenangan malam, beberapa motor memenuhi sudut kota yang sekarang sudah menjadi arena balap liar ilegal itu.

Setidaknya di sana ada puluhan motor yang akan mempertaruhkan nama baik si pemiliknya, jika menang tentu bukan hadiah yang mereka dapatkan, melainkan hanya berupa pengakuan sebagai raja jalanan, dan setelahnya dia akan ditakuti oleh yang lainnya, dan bagi para penonton, tentu hanya taruhan yang menjadi penyemangat mereka untuk datang menyaksikan balapan itu.

Di luar jangkauan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang