"Jawab!"
"Nggak Pa."
"Lalu kenapa? Sejak kapan kamu jadi berandalan yang kerjaannya mukulin orang di club malam!? Mau jadi jagoan? Atau karena pengaruh teman kamu yang bernama Avian itu?"
"Pa!" teriak Bian sambil menatap papanya tajam, "Ini ngga ada hubungannya sama Avian."
"Anak kurang ajar! Beraninya kamu menentang saya," Pamungkas melayangkan tangannya.
Melihat itu, Jian dengan tergesah menuruni tangga.
"Papa!" teriaknya tepat saat Pamungkas hendak menampar Bian. Mendengar teriakan itu, tangan Pamungkas yang sudah terangkat kembali ia turunkan.
"Jangan pukul bang Bian," ujarnya memohon sambil menangis.
"Kenapa belain abangmu yang tidak tahu diri ini?"
"Bang Bian bukan seperti yang papa pikirkan, bang Bian anak yang baik, dia selalu jagain Jian saat papa ngga di rumah," ujar Jian sambil terisak.
Pamungkas dengan wajah yang masih memerah, terduduk di sofa. Lalu suasana hening beberapa saat, hanya isak tangis Jian yang terdengar sebelum akhirnya Bian bersuara.
"Nangisnya udah yah Ji, sana kerjain tugas, abang ke atas dulu," ujarnya ditengah tangisan adiknya itu.
Kemudian Bian berjalan menaiki tangga dan meninggalkan papa dan adiknya yang masih berada di ruang tamu.
"Jian tahu, abang pura-pura kuat!" teriak Jian.
Mendengar itu, Bian hanya diam tanpa menoleh, langkahnya begitu tenang menaiki tangga, setenang wajah dinginnya, namun tangannya mengepal kuat.
******
Pintu kamar kembali ditutupnya, dipandangnya kamar itu lama, dia bahkan tidak bergerak sejengkal pun dan masih berdiri di sana. Beberapa detik kemudian Bian terduduk, pertahanannya roboh, air mata itu akhirnya jatuh, menetes deras membasahi lantai kamar.
Bian menangis, benar-benar menangis. Jian benar, dia hanya pura-pura kuat, sakitnya kini mengalir bersama derasnya air mata, pikirannya kacau, ingatan masa lalu kembali menghantuinya.
Setelah lelah menangis, Bian membaringkan tubuhnya di ranjang, pikirannya kembali memikirkan kejadian-kejadian hari ini. Kedua tangannya dia jadikan alas kepala menggantikan bantal, rambutnya terurai menutupi kedua alis mata. Manik coklatnya masih dingin, tapi juga terlihat lelah.
Bian menghela beberapa kali, matanya masih terpaku menatap langit-langit kamar, meskipun sudah terlihat lelah dan mengantuk, tapi pikirannya masih berkecamuk. Bayangan Avian yang terbaring tidak sadarkan diri di rumah sakit menambah rasa bersalahnya, jika saja Avian bukan sahabatnya, tentu laki-laki itu tidak perlu kena imbas masalahnya.
Sepulang dari kantor polisi, Bian sempat singgah ke rumah sakit tempat Avian di rawat, tapi laki-laki itu belum sadarkan diri, jadi Bian memutuskan pulang dulu untuk membersihkan diri, menyiapkan bubur dan mengambil beberapa helai pakaian untuk Avian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di luar jangkauan (END)
Ficção Geral⚠️[CERITA INI BELUM DIREVISI!] Perjuangan cinta gadis gengsian bernama Tiaia Rosaline, yang dipaksa ke luar dari zona nyaman oleh para sahabat gilanya demi mendapatkan cinta pria yang sudah lama ia kagumi ternyata tidaklah semudah yang ia bayangkan...