Ide Baru Voldemort

78 17 79
                                    

Kebangkitan Lord Voldemort telah memecah belah persahabatan, mencerai-beraikan keluarga, dan memupus rasa kepercayaan satu sama lain. Daily Prophet disetir oleh Kementerian, menyebabkan jurang besar antara pihak Pro-Kementerian dengan pihak Anti-Pendapat-Kementerian. Bahkan nenek Neville sudah berhenti berlangganan Daily Prophet karena yang menurun kualitasnya adalah koran itu, bukan Dumbledore dan segala pengumuman serta pendapatnya.

Regalia sendiri masih membuang-buang uangnya dengan berlangganan koran harian itu, atau, lebih tepatnya, sudah membayar penuh untuk lima tahun ke depan sejak beberapa bulan lalu, sehingga harus menelan semua berita sampah itu agar uang-uangnya tidak terbuang percuma.

Mata Regalia terbelalak lebar ketika pada hari Rabu yang seharusnya cerah dan hangat, tiba-tiba terasa getir dan menjijikkan.

"Harry, kau harus mengadukan ini pada Profesor Dumbledore!" Regalia berkeras ketika bertemu Harry di koridor dalam keadaan tangan yang sudah lecet berat akibat detensi dari Umbridge.

"Tidak perlu, Madam," Harry menggeleng, "sudah terlalu banyak beban yang beliau pikul."

Detensi dengan Umbridge membuat tangan Harry terluka, karena pena yang digunakan untuk menulis kata "Saya tidak boleh berbohong" adalah pena yang akan memgakibatkan tangan penulisnya tertoreh dengan kata yang ditulis tersebut. Harry menjalani detensi tersebut hanya karena mengungkapkan kebenaran tentang kembalinya Voldemort, yang memang nyata dan bukan bualan belaka.

Selain memberikan pelajaran di kelas, Regalia hanya mengurung diri di kamarnya. Anak-anaknya dibiarkan bermain-main, sementara ia hanya menjawab beberapa ocehan anaknya bila diperlukan. Tubuhnya sama sekali tidak fit sejak hari pertama masuk, dan ia merasa keadaan ini mungkin akan berlanjut sampai akhir tahun ajaran.

***

Harry merendam tangannya dalam cairan Murtlap yang diberikan oleh Hermione sekembalinya ia dari detensi. Rasanya perih, tetapi kemudian langsung mendingan dan hampir sembuh. Tetapi, karena besoknya dia masih harus didetensi, tentu saja, tangan itu akan benyek lagi seperti sebelum-sebelumnya.

"Teori tanpa praktek, apa gunanya kita sekolah?" gerutu Fred sambil membanting bukunya ketika mereka berkumpul di ruang rekreasi.

"Ya, tak ada gunanya!" imbuh George, "Kita tak akan menguasai apa pun ketika lulus kalau begini caranya!"

"Hermione, kau menulis terus begitu untuk siapa sih?" tanya Ron yang melihat Hermione menulis pada perkamen yang lumayan panjang.

"Mengirim balasan untuk Viktor," jawab Hermione sambil terus menulis.

"Viktor Krum?" tanya Ron lagi.

"Memangnya kita kenal berapa Viktor?" sindir Hermione.

"Kau sadar, kalau dia itu suka padamu?" tanya Ron lagi.

"Kami hanya sahabat pena," Hermione mengelak.

"Tidak, tidak!" seru Ron, "Dia ingin kalian lebih dari itu! Lihat, kau rajin sekali berkirim surat dengannya! Musim panas selanjutnya, kau pasti akan liburan ke Bulgaria!"

"Kenapa kau sewot?" sahut Parvati yang juga berada di sana, "Kau menyukai Hermione?"

"Mana ada!" sembur Ron, "Hanya..
Hanya... Hanya, Viktor berasal dari sekolah musuh."

"Kita tidak bermusuhan dengan sekolah sihir mana pun!" gertak Hermione, "Kita bersahabat dengan mereka!"

"Oh, ya ampun, mulai lagi kalian," Lavender menyandarkan dirinya di kursi. "Tidak bisa damai?"

"Ngomong-ngomong surat," Fred menyahuti, "kalian pasti tidak menyangka kalau George selalu mengirim surat pada seseorang selama musim panas kemarin!"

"Yang benar?" sahut yang lain dengan bersemangat.

"Jaga mulutmu sedikit!" George memukul kepala Fred.

***

Lucius berlutut di lantai, menghadap tuannya dengan kesetiaan yang berpadu dengan ketakutan. Dia sama sekali tidak mendongak pada sang Pangeran Kegelapan.

"Tatap aku, Malfoy," perintah Voldemort, "aku ingin melihat apa yang telah terjadi selama aku tidak ada tanpa harus bertanya kepadamu."

Kontak mata terjadi, dan deretan memori seperti film yang diputar langsung berkelebat dalam penglihatan Voldemort. Bagaimana kejatuhannya diberitakan di mana-mana. Bagaimana bocah yang berhasil bertahan hidup itu dielu-elukan. Bagaimana Kementerian berjalan. Semuanya berjalan bergantian. Wajah-wajah yang telah dikenalnya, wajah-wajah yang relatif baru, orang-orang penting, sampah masyarakat tak berarti, juga seorang wanita muda berambut cokelat yang sedang makan malam, kemudian wanita yang sama sedang memakan es krim di Diagon Alley.

"Siapa itu, Malfoy?" ucap Voldemort lirih sambil berusaha mencari potret wanita itu lagi dalam ingatan Lucius Malfoy, tetapi yang muncul hanyalah makan malam, makan malam, dan makan malam lagi. "Siapa itu, Malfoy?!"

"Dia adalah guru ramalan di Hogwarts," jawab Lucius.

"Guru ramalan? Makan malam denganmu?" cecar Voldemort dengan dingin.

"Dengan banyak orang, Yang Mulia," Lucius menjelaskan, "karena dia datang ke sini atas undangan dari Narcissa dan saya. Dan pernah satu kali Narcissa dan saya yang diundang makan oleh ayahnya."

"Keluarga kalian saling mengenal, kalau begitu?"

"Dia adalah putri tunggal Sirius Black, Yang Mulia."

"Siapa namanya?"

"Regalia," Lucius menjawab lirih, dengan rasa penasaran kenapa Pangeran Kegelapan menanyakan wanita itu.

"Regalia Black," Voldemort beralih dari Lucius menuju jendela.

"Sebenarnya, sejak kira-kira tiga tahun lalu, namanya adalah Regalia..." Lucius menelan ludah sejenak, "...Snape."

"Snape?" wajah ular Voldemort mengernyit, "Severus Snape?"

"Ya, Yang Mulia."

"Wah, wah," Voldemort mengaitkan jari-jarinya, "dia punya istri yang merupakan seorang peramal, dan dia tidak mengatakannya padaku. Pengkhianatan kecil-kecilan."

"Dia tidak begitu hebat, Yang Mulia," cemooh Lucius, "hanya seorang pembaca kartu yang pandai membual."

"Aku tidak meminta pendapatmu, Malfoy," Voldemort mengangkat tangannya sebagai isyarat agar Lucius diam. "Peramal tetaplah peramal. Sybill Trelawney juga seringkali dianggap sebagai peramal gadungan, tetapi darinyalah pengikutku mencuri dengar ramalan tentangku. Malfoy, kurasa ada baiknya jika kita memiliki peramal kita sendiri. Nah, sekarang, baru kutanya, bagaimana pendapatmu?"

"Kita memiliki peramal sendiri?"

"Ya, tentu saja! Untuk mengantisipasi setiap langkah kita!"

"Asalkan dia memang cukup ulung, itu tidak akan merugikan kita, Yang Mulia."

"Kalau begitu, aku akan mengatur kapan saat yang tepat untuk mengatakan ini kepada Snape."

"Anda ingin mengumpulkan seluruh Pelahap Maut sekarang, Yang Mulia?" Lucius menyibak lengan kiri bajunya, memperlihatkan tanda kegelapan di sana.

"Jangan terburu-buru, Lucius Malfoy," Voldemort menyeringai ke luar jendela. "Jangan membuat wanita incaranku itu mati terkejut. Tentunya, Snape tidak akan suka jika terjadi sesuatu kepadanya."

"Apakah Anda sangat tertarik padanya, Yang Mulia?"

"Tertarik macam apa yang kau tanyakan ini?" Voldemort tampak tersinggung.

"Bisa saja Anda tertarik seperti lelaki pada umumnya, karena dia memiliki pesona di atas wanita biasa," Lucius menjelaskan, "karena dia adalah keturunan dari makhluk magis yang disebut veela. Dia bisa memikat siapa pun kalau dia mau."

"Aku bukan lelaki pada umumnya, Malfoy!" suara Voldemort menggelegar. "Tetapi, memiliki dia bersama kita, akan memberikan keuntungan yang luar biasa!"

Lantas, tawa Voldemort menggema di seluruh Malfoy Manor.

-EPL/RB-

The SnapesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang