Rasa Iri dan Prasangka

152 17 43
                                    

Regalia berusaha menikmati sarapannya dengan tenang, kendati pikirannya melayang. Kalau Nyse sudah tidak mengajar, untuk apa dia kembali ke Hogwarts? Seharusnya dia tetap tinggal di Spinner's End, seperti Regalia sebelum dia mengajar ramalan!

Urat-urat di leher Regalia bermunculan, merayap hingga rahang dan pelipisnya. Dia mencium bau amis yang seharusnya bahkan tidak ada.

"Madam Snape," Dumbledore berkata dari kursinya dengan tenang, "jika ada yang mengusik pikiranmu dan ingin kau adukan kepadaku, datanglah ke kantorku setelah sarapan."

"Baik, Kepala Sekolah," Regalia mengangguk.

Kendati masih tinggal di Hogwarts, Nyse tidak turut sarapan di aula. Jatah makannya pastilah diantarkan oleh Dobby. Sedangkan Severus memilih duduk di tempat yang jauh dari Regalia, seakan tidak ingin hubungan suami istri mereka membuat mereka tampak tidak profesional.

Harry, Ron, dan Hermione menikmati makanan mereka sambil sesekali melirik kepada Regalia yang jelas memasang tampang kerasnya.

"Ada dua jam pelajaran ramalan sore ini," kata Ron sambil memeriksa jadwal, "dan kita bahkan tidak berbakat meramal sama sekali."

"Kenapa tidak didrop saja?" tanya Hermione, "Itu pelajaran sinting –bukan berarti gurunya sinting, kau tahu. Aku melepaskannya sejak awal."

"Enak juga, ya, tanpa adanya Percy mulai tahun ini," ujar Fred dari seberang mereka.

"Ah, ya, tentu saja!" sahut Ron antusias.

Di meja Slytherin, Draco dan Addeline malah sibuk membicarakan hal yang jauh dari urusan sekolah.

"Kau tahu, Weasley itu pengkhianat darah," ujar Draco, "tetapi itu lebih baik daripada halfblood, apalagi mudblood!"

"Oh, ya ampun, Draco," Addeline mendengus sebal, "sudah kubilang, berhentilah membahas hal ini denganku! Kau tahu, aku tidak peduli!"

"Jika ayah mendengar hal ini, maka kau tidak akan diakui sebagai bagian dari keluarga Malfoy lagi!" desis Draco, nada bicaranya begitu serius.

"Kau sendiri mau bagaimana? Menikahi Pansy?" sindir Addeline.

Pansy yang duduk di seberang mereka pun mendongak karena merasa terpanggil.

"Kami tidak menyebutku," kata Draco buru-buru kepada Pansy, "dia membicarakan celananya." Tangan Draco di bawah meja mencubit paha Addeline.

"Sakit!" Addeline memukul kepala Draco dengan keras sekali.

Pertengkaran hingga seorang gadis memukul kepala kembarannya seperti itu tentunya menarik perhatian Regalia. Sambil mengunyah buburnya, dia mengamati dua kepala berambut pirang platinum di meja Slytherin itu. Lantas seulas senyuman tersungging di bibirnya. Dia jadi bertanya-tanya dalam hati, apakah Arcturus dan Eileen juga akan bertingkah seperti itu nantinya? Dan bagaimana hubungan mereka dengan Caius dan Sakunta? Apakah baik atau...

Regalia buru-buru meneguk air dari gelasnya. Nyse sudah mulai tak terkendali. Nyse bisa saja menjadi burung gagak sepenuhnya kapan pun. Dan ketika saat itu tiba, satu-satunya sosok wanita yang tersisa sebagai figur ibu bagi Caius dan Sakunta adalah Regalia. Regalia sepenuhnya menyadari hal itu.

Setelah sarapan, Regalia segera menemui Dumbledore bersama anak-anaknya di kereta dorong, seperti biasanya.

"Halo, Arcturus! Halo, Eileen!" Dumbledore menyambut mereka dengan ramah, "Sudah lama sekali Kakek Albus tidak bertemu kalian."

"Kakek Albus?" Regalia mengernyit.

"Memangnya bagaimana mereka harus memanggilku?" Dumbeldore terkekeh.

The SnapesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang