Inspeksi Kelas Ramalan

72 16 38
                                    

"Bukti, dia bilang!" Regalia mengoceh sendiri sepanjang koridor dari aula besar menuju kelasnya di salah satu menara. "Awas saja, kalau sampai bintang-bintang muncul malam ini, atau kartu-kartuku mau diajak bekerja sama, atau bola kristalku sedang dalam keadaan prima, akan kubongkar semua rahasia hidupnya!"

"Madam, Anda baik-baik saja?" tanya Addeline yang berjalan di belakangnya, sedangkan anak-anak Slytherin kelas lima yang lain belum bergegas menuju kelasnya.

"Kodok tua itu mengata-ngataiku sebagai peramal gadungan dan pembual!" jerit Regalia sambil mendorong pintu kelasnya dengan kasar. "Dia belum tahu bagaimana rasanya jika semua aibnya terbongkar!"

"Madam!" Pansy berlari menyusul mereka yang sudah duduk di kursi masing-masing. "Inkuisitor Agung mengirim pesan pada Anda!" Pansy memberikan sebuah surat pada Regalia.

"Hari ini?!" Regalia berjengit, "Oh, pada jam anak-anak kelas lima Gryffindor. Tidak masalah." Regalia melipat surat itu dengan asal-asalan, kemudian memasukkannya ke dalam laci mejanya.

Regalia melewatkan semuanya dengan normal. Mengajar anak kelas lima Slytherin, lalu anak kelas enam Ravenclaw, turun ke aula besar untuk makan siang secepatnya, lantas menjenguk anak-anaknya di Hospital Wings.

Ketika tiba waktunya mengajar Harry dan kawan-kawan, Umbridge memasuki kelas Regalia tanpa merasa sungkan. Tatapan mereka bertabrakan, dan Harry bisa merasakan bahwa dua orang dewasa itu mengobarkan api permusuhan.

"Silakan menlanjutkan pelajaran Anda, Profesor Sna—"

"Madam Snape," tukas Regalia, menekan kata 'Madam' untuk memberikan pemahaman lebih kepada Umbridge. "Kalau Profesor Snape, lain lagi orangnya. Dia laki-laki."

"Oh, ya, baiklah," Umbridge duduk di bangku paling belakang, sejajar dengan Lavender dan Parvati. Lavender bisa melihat Umbridge menuliskan kata 'Cara bicara tidak sopan'.

Lavender menelan ludah dengan berat, lantas memperhatikan pelajaran lagi. Dia berpikir, Madam Snape pasti akan mendapatkan masalah setelah ini.

"Jadi, kita akan memperdalam pembacaan kartu oracle!" seru Regalia sambil membagikan kartu untuk setiap anak.

"Nak," Umbridge menoleh pada Lavender, "apakah Madam Snape sudah pernah mengajarkan tentang pembacaan kartu oracle sebelumnya?"

Lavender hanya mengangguk.

"Mengajarkan pelajaran yang sudah pernah diajarkan," gumam Umbridge sambil mencatat di clipboard-nya.

"ORACLE," sembur Regalia, sengaja dikeraskan agar Umbridge tersentak kaget, "adalah kartu yang umumnya digunakan sebagai nasihat dan penyemangat dalam keseharian, tetapi, beberapa peramal telah sangat andal menggunakannya sebagai alat untuk melihat masa depan, tanpa harus membaca tulisan pada kartunya!"

Parvati tahu, ini tidak wajar. Alih-alih menjelaskan kepada muridnya, Regalia cenderung lebih seperti menjelaskan sesuatu kepada seseorang yang keras kepala atau begitu bebal.

"Seperti yang telah berkali-kali kukatakan pada kalian," ucap Regalia lagi, "aku ingin kalian mendapat pengajaranku yang terbaik, tetapi, tidak semua dari kalian berbakat menjadi peramal. Jadi, seperti yang selalu kita lakukan, kita langsung praktek. Jangan memaksakan diri. Ketika kalian merasa sudah agak pusing, berhentilah. Jangan merusak fisik kalian hanya karena jiwa kalian merasa mampu."

"Tidak sungguh-sungguh mendorong semangat murid," Umbridge bergumam lagi sambil menulis, membuat Lavender menyenggol-nyenggol Parvati dengan cemas.

"Pusatkan mata batin dan perasaan kalian pada kartu dan orang yang kalian tangani," Regalia memberikan instruksi, "lantas, kocok kartu kalian sampai terjatuh dengan total sembilan kartu. Jika kartu terakhir yang muncul adalah dua kartu secara bersamaan -aku menyebutnya kembar, sehingga jumlah yang kalian dapat adalah sepuluh, tidak masalah. Terjemahkan semuanya itu. Kemudian, tulis hasilnya dalam perkamen dan kumpulkan padaku."

"Jadi, Madam," Umbridge berjalan mendekati Regalia, "sudah berapa lama Anda mengajar pelajaran ini?"

"Hampir tiga tahun," jawab Regalia, berusaha memendam rasa jengkel.

"Jadi, Profesor Dumbledore yang menunjuk Anda?"

"Benar," jawab Regalia dengan percaya diri.

"Tetapi, Anda tidak punya nenek moyang peramal, saya rasa?" Umbridge menatap Regalia seakan menantang.

"Tentu saja, tidak ada anggota keluarga Black maupun kroni-kroninya yang memiliki bakat meramal," ujung bibir Regalia berkedut.

"Apalagi seekor veela, ya 'kan?" Umbridge terkekeh geli. "Makhluk sebangsa peri hutan tentunya tidak akan repot-repot mempelajari ramalan. Tapi, tentunya, sebagai peramal sejati, yang pertama dari kaumnya, Anda bisa meramalkan sesuatu untukku."

"Mata batin tidak melihat karena diperintah!" Regalia tampak tersinggung, "Tetapi, kalau Anda memaksa, saya tidak keberatan memaksa mata batin saya. Agar Anda tahu, saya bukan peramal gadungan meskipun saya adalah yang pertama dari kaum saya -kalau manusia setengah veela-lah yang Anda maksudkan." Regalia menekan kata 'Peramal Gadungan' dan 'Kaum'.

Regalia berjalan menuju rak-nya, mengambil dua buah kotak dan sebuah permadani tergulung di pojok ruangan.

Regalia menggelar permadani kecil itu, membuka kotak pertama, dan mengambil beberapa lilin di bawahnya, lantas menyalakannya. Dia pun duduk di atas permadani itu.

"Untuk apa semua ini?" tanya Umbridge.

"Pembacaan yang lebih baik ketimbang yang saya berikan pada para murid," jawab Regalia sambil membuka kotak satunya, dan mengeluarkan tiga pak kartu tatot. "Anda harus duduk di seberang saya. Lilin-lilin ini sudah cukup untuk memisahkan kita dan aura kita." Regalia memandang murid-muridnya sejenak, "Anak-Anak, perhatikan aku dulu! Ini pelajaran tambahan! Kelilingilah kami, kalau perlu!"

Harry dan yang lain mengelilingi Regalia dan Umbridge, sementara Regalia mulai mengocok kartunya.

"Kartu pertama bilang," kata Regalia, "wah, bagus sekali. Anda akan sangat senang, meskipun saya juga tidak tahu apa yang menyebabkan kesenangan itu. Anda akan sangat senang, tetapi, Anda akan sangat kerepotan."

Harry melihat kartu-kartu itu lamat-lamat, berharap mengerti bagian mana yang bisa dibaca oleh para peramal.

"Kartu selanjutnya bilang," kata Regalia lagi, "kelihatannya, Anda terlalu banyak menantang orang, melebihi apa yang mampu Anda tangani. Lalu, selanjutnya, ah, tidak bagus. Selanjutnya, ah, semakin buruk. Selanjutnya, aduh, saya tidak yakin Anda mau mendengarnya."

"Omong kosong apa ini, Madam?" cecar Umbridge, "Apa yang kau katakan sama sekali tidak jelas!"

"Ketika matahari tenggelam, Profesor," Regalia berkata lagi, tak mengindahkan ucapan Umbridge, "apakah bulan bisa menjadi penggantinya? Tidak, saya rasa, tidak. Ada ribuan bintang yang berkilau karena cahayanya sendiri, tetapi, ada orang bodoh yang menyanjung-nyanjung rembulan."

Inspeksi itu berakhir dengan wajah Umbridge yang penuh cemoohan untuk Regalia, juga gerutu penuh cacian ketika dia meninggalkan kelas Regalia.

"Madam, dia menuliskan segala hal buruk untuk Anda di perkamennya," kata Lavender, "saya diam-diam mengintipnya."

"Tidak apa-apa," Regalia tersenyum, lalu berkata dengan lembut, "jadi, kalian sudah selesai? Kalau belum, selesaikan segera."

Para murid kembali duduk di tempat mereka, dan menyelesaikan pembacaan mereka pada sembilan atau sepuluh kartu yang berbeda satu sama lain, dan sama sekali tidak mungkin bagi mereka untuk menyontek.

"Kalian harus mengingat itu, Anak-Anak," Regalia berjalan menuju jendela, memunggungi murid-muridnya, ditemani oleh Nastari di pundaknya, "bahwa akan tiba harinya, matahari akan terbenam, orang bodoh memuja-muja rembulan, tetapi, malam akan lenyap, fajar akan menjelang kembali, dan matahari akan menghangatkan hati kita lagi, meskipun awan mendung akan menaungi."

Harry dan Ron menoleh pada Parvati dan Lavender yang paling pandai dalam pelajaran ramalan, tetapi kedua gadis itu juga menggeleng tidak paham.

-EPL/RB-

Reader, komen yang banyak dong... ramein... Author butuh penyemangat. 🥺

Love you buat kalian semua yang sabar mengikuti sampai sejauh ini. Thank you very much. 😘

Ayo, semangatin Author biar Author cepet lanjut. 🥰

The SnapesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang