🍁7

358 32 2
                                    

Author POV




Indah sedikit mengintip dari balik guling yang ia peluk. Ia bisa melihat jam baru saja bergeser diangka satu dini hari. Dilihatnya Ninda yang tengah mengajak bicara Aryo yang terbangun. Nampaknya, Aryo habis pup karena tangan Ninda tengah sibuk memakaikan popok baru.

Seulas senyum diberikan Indah tanpa sepengetahuan Ninda. Gadis itu pun memilih melanjutkan tidurnya karna melihat Ninda yang bisa mengurus Aryo seorang diri.

Selepas memakaikan popok dan juga celana, Ninda pun menggendong Aryo. Mencoba menidurkan bayi lelaki tersebut agar kembali terlelap.

Hal seperti ini memang bukan yang pertama kali baginya. Dulu, saat ia masih tinggal bersama orangtuanya, Mamanya kerap membawa pulang keponakannya yang masih berumur balita. Jadilah, dirinya pandai mengurus anak bayi seperti Aryo. Bahkan ia juga bisa mengurus bayi yang baru lahir.

"Aryo bobo yaaa, aunty ngantuk.. Mari kita kerjasama dengan baik sayang". Bisik Ninda pelan sembari menimang Aryo yang mulai menguap didalam gendongannya.

Pandangannya terus menelusuri wajah Aryo. Bayi laki-laki yang tampan. Ia salut dengan Sonny dan keluarganya yang masih mau mengurus Aryo meski status bayi ini sudah sangat jelas bukan anaknya Sonny.

Saat menyadari Aryo sudah terlelap, Ninda segera memindahkannya ke dalam box bayi. Tak lupa, ia pun menyelimuti tubuh Aryo agar tetap hangat mengingat cuaca yang cukup dingin untuk daerah Jakarta disaat musim hujan seperti ini.

Ia menoleh pada Indah yang tertidur dengan begitu lelap. Pandangannya pun beralih pada gelas air yang nampak kosong.  Dengan kecewa, ia mengambilnya begitu hati-hati gelas tersebut dan segera keluar dari kamar.

Satu-persatu undakan anak tangga ia turuni. Sepertinya mereka harus membuatkan kamar Aryo dilantai bawah saja. Ia takut jika Aryo semakin aktif, takut jika sewaktu-waktu tidak ada yang menjaganya saat bermain dilantai atas seperti ini.

"Lo belum tidur?".

Dirinya terlonjak kaget saat membuka pintu lemari es. Ia menoleh ke belakang, menatap pria yang kini hanya mengenakan kaos hitam dan juga celana pendek tengah menatap dirinya dengan wajah kantuk yang begitu khas.

"Bisa gak sih , gak usah ngagetin gitu ngomongnya". Sungut Ninda sebal.

"Gue udah biasa ngomongnya. Lo udah kaya maling aja, jalan pelan-pelan begitu apalagi pas masuk dapur".

"Haus". Ujar Ninda yang dilanjutkan dengan meminum air mineral yang telah dituang ke gelas yang dibawanya sedari tadi.

"Nda...".

"Hm..".

"Lo bisa masak mie rebus?".

"Nggak bisa. Gak enak masakan gue. Kalau lo nyuruh gue masak air,  baru gue maju paling depan".

"Lo cewek apa bukan sih".

"Ya menurut lo aja setelah nelanjangin gue buat yang kedua kalinya".

Sonny harus menahan tawanya agar tidak pecah mengingat situasi mereka saat ini.

"Gue laper".

"Ya makan. Gue liat dikulkas banyak kue. Lo bisa makan itu kalau laper". Ujar Ninda.

"Maunya mie rebus. Tapi lo yang masakin. Itung-itung bayaran lo udah nginep disini".

"Bukan gue yang mau nginep disini kan". Ninda meliriknya dengan kesal.

"Gue ajarin".

Sonny memutar tubuh Ninda dengan paksa namun tidak menyakitinya. Ia segera menggiring Ninda untuk kearah kompor. Tak lupa, ia pun mengambil panci kecil dan menuangkan air ke dalamnya.

"Gue ajarin lo bikin mie rebus yang enak".

"Kalau lo bisa bikin mie rebus yang enak, kenapa harus gue?".

"Gue maunya tinggal makan".



**


Kepalanya menggeleng-geleng pelan saat Sonny berhasil menghabiskan satu mangkok mie rebus.

Dirinya sebenarnya bisa memasak mie. Hanya saja,kalau sudah tengah malam begini ia malas berurusan dengan dapur.

"Masih laper?". Tanyanya pada Sonny.

"Udah kenyang. Makasih ya".

"Lima juta gue tunggu transferannya besok pagi".

"Lo gila?".

"Ya enggak lah". Sahut Ninda, "pertama, lo udah nyita waktu istirahat gue, kedua lo udah bikin rambut gue bau asap dapur dan ketiga lo bikin kuku gue hampir patah gegara bersihin udang di jam setengah dua pagi". Jelas Ninda.

"Nikah sama gue aja lah. Semua keuangan lo yang atur".

Tangan kanannya terulur dan langsung memukul kepala Sonny, "Kalau ngomong enak bener. Kaya lo ngajak liburan aja. Nikah tuh buat seumur hidup. Emangnya lo mau bikin gue jadi janda muda?".

"Emangnya lo belum ada tanda-tanda suka ke gue?".

Kedua tangan Ninda terlipat didada, ia menyandarkan punggungnya pada kursi, "buat hari ini belum. Tapi.....".

"Tapi?".

"Tapi gue udah jatuh cinta ke Aryo".

Sonny tersenyum saat melihat Ninda yang tersenyum begitu tulus saat mengatakan hal tersebut.

"—biasanya butuh waktu beberapa hari biar anak kecil tuh lengket sama gue. Tapi pas gue sama Aryo cuma butuh waktu satu jam. Bahkan tadi pas gue gantiin popoknya, dia nggak rewel sama sekali. Apalagi pas gue tidurin, nurut banget anaknya. Kalau gue nungguin Aryo gede, gue udah jadi nenek-nenek kayanya".

"Ya makanya, lo sama bapaknya aja". Sahut Sonny yang langsung malas saat mendengar kalimat terakhir Ninda.

"Kenapa lo maksa gue buat nikah sama lo?".

"Gue ngga maksa".

"Terus?".

"Cuma menawarkan. Lagipula lo males kan cari calon suami. Jadi, kenapa nggak lo ambil kesempatan yang jelas-jelas tersedia di depan mata?".

"Emangnya... Lo ngga malu punya istri kaya gue?". Suara Ninda mulai rendah. Salah satu hal yang mengganjal berhasil dikeluarkannya.

"Kenapa harus malu?".

"Gue cuma tamatan SMA. Kerjaan gue cuma freelance. Bahkan gue ngga punya banyak temen, nggak pandai bergaul. Dengan kata lain, hidup gue ngebosenin".

Sonny terdiam. Ia mencerna kalimat tersebut dengan baik, "Seperti yang lo bilang, belajar bisa dimana aja bukan? Untuk masalah teman bahkan pergaulan lo, itu bukan masalah yang besar. Selama lo ngga pernah buat jahat ke orang, itu udah cukup buat gue".

"Kenapa gue harus nerima lo?".

"Setelah kejadian malam pertama itu, gue pernah berdoa. Kalau lo emang jodoh gue, dengan segala cara apapun gue mau dibikin deket sama lo,nda". Sonny memberikan senyumannya pada Ninda yang tengah menatapnya begitu lekat, "Dan lo liat sekarang? Ada berapa kesempatan yang udah dikasih ke gue biar kita deket? Bukan sekali ataupun dua kali".

Ninda diam. Jantungnya berdetak saat Sonny mengatakan hal tersebut. Terlebih tatapan pria itu yang begitu dalam sekaligus menenangkan.

"Tidur gih, udah mau jam tiga pagi". Tangan kanan Sonny mengusap begitu lembut puncak kepala Ninda.

"Son...".

"Apa?".

"Peluk gue".

Dipandanginya sejenak wajah Ninda sebelum ia memberikan pelukan hangat pada gadis itu.

"Lo denger ngga detak jantung gue,Son?".

"Ngga, kecuali gue pegang kayanya bakal ngerasain detak jantung lo". Ujar Sonny yang semakin mengeratkan pelukannya.

"Kayanya nusuk orang pakai garpu seru juga". Tangan kanan Ninda mencubit pinggang Sonny hingga membuatnya sedikit meringis pelan.



Bersambung.....



*dadakan serius... Jadi ngga panjang /? Wkwkwkwkwk

Someday - DAY6 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang