35. Haruskah?

27 3 0
                                    

Mata Edgar pun membesar dan terus menatap wajah Aulia. Sebuah rasa takut dan tidak layak untuk menampakkan wajahnya terasa sangat dalam. Edgar hanya memandang tanpa mendekati gadis itu. Di lain sisi, Aloys dan Carole tidak tahu harus berkata dan berbuat apa. Apa Aulia sudah memaafkannya? Atau Aulia masih kepahitan dengan semua itu? Apa Aulia mau menyapanya? Atau justru semakin menghindarinya? Yang paling mereka takuti jika Aulia tidak mau lagi tinggal bersama mereka dengan tujuan menghindari kedatangan pria satu ini.

Dia tetap berjalan ke dalam kamarnya dengan dingin. Perasaan dia terasa bercampur-aduk hingga dia sendiri tidak mengerti lagi dengan perasaan ini. Dia terus berjalan membelakangi mereka bertiga. Tidak lagi ia peduli dengan keberadaan pria itu. Ayah? Untuk apa aku menganggap dia sebagai ayahku?Tidak ada gunanya. Langkah dia semakin cepat.

Menaiki tangga dan segera masuk ke dalam kamar. Suara pintu kamar terbanting dengan kencang terdengar dari bawah. Aloys dan Carole tidak pernah melihat Aulia marah hingga membanting pintu. Hanya saat ini mereka melihat reaksi itu. Edgar semakin menyesal. Hatiny semakin pilu. Tusukan terasa semakin dalam melihat ekspresi Aulia padanya.

Aku memang layak menerima respon ini. Edgar berusaha menerima dampak dari perbuatannya sendiri. Sudah seharusnya aku yang tanggung akibat dari egoku. Carole menepuk pundak Edgar. Dia juga tidak tahu harus bagaimana untuk memperbaiki hubungan Edgar dengan Aulia. Aloys hanya dia menatap tangga yang tadi Aulia injak.

Karma masih tetap berlaku hingga kapanpun. Apapun yang kita lakukan, itu tidak mengubah semua. Edgar menyadari hal itu saat ini. Apa masih ada harapan buat aku memperbaikinya? Atau semua terus berakhir dengan kondisi seperti ini?

Edgar berdiri dari posisi berlutut perlahan-lahan. Aloys dan Carole memperhatikannya. Wajah Edgar hanya menghadap ke lantai. Dia berjalan keluar dari toko ini. Mencari tempat tinggal di dekat sini yang bisa dia pakai.

Haruskah aku memaafkannya? Atau akan lebih baik jika aku menghindarinya? Aulia tidak mengerti lagi akan semua ini. Mengapa tiba-tiba dia mendatangiku lagi? Bukankah pertemuan yang di bawah pohon sudah cukup? Pintu dia kunci dengan tangan kanannya. Dia berbalik bersandar pada pintu. Memandang ke lantai dengan kumpulan air mata yang ia tahan.

Aku tidak akan memaafkannya! Dia bukan Papaku lagi! Emosi semakin melunjak. Sudah cukup dia menyakitiku! Sudah cukup dia mengecewakanku! Kedua tangannya menutupi wajahnya. Tanpa menunggu lagi, kumpulan air mata tadi menetes tanpa henti. Sudah tidak kuat ia menampung tangisan itu.

Tubuhnya jatuh perlahan-lahan dan duduk di lantai.

"Aulia." suara Carole terdengar.

Ia tidak menggubrisnya sama sekali. Air matanya juga tetap menetes. Isaknya mulai terdengar. Carole mendengar isakan itu dari balik pintu. Dia pergi meninggalkan pintu kamar Aulia dan masuk ke kamarnya. Aloys memberi kode padanya untuk memberi tahu kondisi Aulia. Carole menggelengkan kepalanya. Malam ini menjadi sunyi senyap bagi mereka semua. Tidak ada sedikit pun senyum yang terlihat dari wajah mereka semua. Sendu.

Hingga malam tiba, Aulia tak kunjung keluar dari kamarnya untuk mengambil makan. Hingga pukul 9 p.m, Aulia belum juga keluar dari kamarnya.

"Aulia."panggil Aloys dari balik pintu.

Hening. Aulia tidak menjawabnya sama sekali meski dia tahu bahwa ia dipanggil. Kakek Aloys menghembuskan nafas dan berkata, "Kalau mau makan, ambil di meja, ya! Kakek mau tidur dulu."

Namun tetap tidak ada balasan dari Aulia. Tidak ada perubahan dari suasana ini. Gelap malam berlalu dan mentari pagi mulai bersinar. Pintu kamar tidak juga terbuka.

***

Suasana tidak berubah. Tempat ini tetap sama. Keramaian para murid-murid terus memenuhi tempat ini selama jam istirahat seperti biasanya. Victor melihat ke dalam kelas Aulia melalui jendela. Biasanya ia melihat Aulia duduk di tempat yang sama; di ujung kanan paling belakang. Hari ini tidak ada yang duduk di tempat itu. Hanya tas dan alat tulis berserakan yang menghiasi kursi dan meja itu.

Hari ini dia tidak terlihat. Apakah dia sudah pergi ke kantin? Victor sedang mencari Aulia. Tidak seperti biasanya Aulia tidak terlihat seperti ini. Mungkinkah dia lagi di ruang musik? Teringat permainan pianonya saat itu, Victor bergegas ke ruang musik. Dia intip lagi ruang itu melalui kaca yang berada di tengah pintu.

Setelah melihat bakat Aulia dalam musik, Victor semakin ingin mengenali gadis misterius itu. Dia tidak menyangka kalau ada darah musik yang kuat pada perempuan penyendiri itu. Tidak jauh dari tempat Victor berdiri saat ini, ruang musik sudah terlihat. Victor segera mengintip jendela itu tetapi kosong. Tidak ada orang. Apakah dia gak masuk sekolah? Apakah dia sakit karena hujan kemarin? Pertanyaan demi pertanyaan mulai muncul di pikiran Victor. Victor kembali ke kelasnya. Dia melihat Emma sedang duduk melamun di dekat jendela. Pikirannya melayang entah ke mana. Apakah dia lagi memikirkan perkataan Victor kemarin? Daripada memikirkan Emma, dia kembali duduk dan membuka ponselnya.

Dia membuka kontak dan mencari nomor milik Aulia. Tidak ada. Dia baru sadar kalau dia belum pernah meminta nomor telepon milik Aulia. Selama ini mereka hanya bertemu di pohon sana.

Setelah sekolah usai, dia meminta ijin pada pelatih kalau dia akan datang terlambat pada latihan basket hari ini karena ada urusan pribadi. Karena tidak ingin mencari keributan di tim basket, dia langsung berlari dengan cepat untuk datang ke rumah Aulia yang tidak jauh dari sekolah.

Dia berhenti di depan toko itu dan melihat Aloys sedang melayani pelanggan serta Carole sedang merapikan botol anggur yang ada di rak. Victor membuka pintu perlahan-lahan dan memasukinya dengan sopan.

"Permisi."

Aloys dan Carole sontak mengalihkan perhatian mereka pada Victor. Bibir Aloys tersenyum melihat kedatangan Victor. Mereka sangat ingin Victor dapat merubah keadaan ini. Aulia terus mengurung diri di dalam kamar sejak pertemuannya dengan Edgar kemarin. Makanan yang mereka sediakan di dekat pintu kamar juga ditolak oleh Aulia. Sudah sejak semalam Aulia tidak mau makan.

"Victor right?"

"Yes, I am. Apakah Aulia sedang di rumah?"

"Iya."

Carole mengajak Victor masuk ke dalam rumah dan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Dia menunjuk pada kamar Aulia yang terkunci saat ini. Victor tidak mengerti mengapa Aulia mengunci dirinya di dalam kamar dan tidak mau makan sejak tadi malam. Apa yang terjadi? Victor bingung dengan ini.

Victor mengetuk pintu kamar.

"Aulia."

Aulia yang sedang berbaring di atas kasur membuka matanya lagi. Suara yang tidak asing terdengar. Bukan suara Aloys atau Carole. Bukan juga suara Edgar. Itu suara..... Victor?Aulia bangun dan memandang pada pintu kamarnya.

"Kamu di dalam? Ini aku, Victor."

Victor menunggu jawaban dari Aulia. Berharap akan ada respon. Sayangnya, suasana tetap hening. Aulia kembali memejamkan matanya. Ingin sekali lari dari kenyataan ini. Hanya dengan ini dia merasa bisa lari dari kenyataan. Jika aku membuka pintu, apakah aku harus kembali ke kenyataan ini? Dia lebih memilih seperti ini daripada harus kembali pada kenyataan.

Dari kesunyian ini, Victor sadar bahwa Aulia sedang tidak ingin diganggu. Lelaki yang sedang mengenakkan pakaian olahraga berwarna merah dengan jaketnya yang tebal berwarna hitam ini tidak mengerti dengan penyebab semua ini. Dia menjadi takut jika dirinya melakukan sebuah kesalahan dan membuat gadis ini menjadi mengurung diri. Tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya pada Aulia. Dia ingin bertanya tetapi enggan untuk menanyakannya saat ini.

"Okay. Aku gak akan ganggu lagi tapi kalau mau ku temani, kamu bisa hubungi nomor ku." Victor membuka tas ranselnya dan mengambil buku serta alat tulis. Dia sobek sedikit keras dari buku itu lalu dia tulis nomornya. Kertas itu dia selipkan ke bawah pintu.

"Ini nomorku aku selipkan di bawah pintu. Aku kembali latihan basket, ya!"

Lost Daddy (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang