# 3

41 8 4
                                    

Darra berdiri di meja koperasi sekolah sambil memandangi daftar harga buku pelajaran. Dia tidak tahu harganya akan semahal ini. Bagaimana Darra bisa membeli semuanya?

"Saya catat harganya dulu ya, Bu," kata Darra kepada Bu Susi, petugas koperasi.

Setelah itu Darra pergi ke perpustakaan yang berada di sebelah koperasi. Darra duduk di pojok, tempat favoritnya. Ia kembali mempelajari daftar harga buku tadi. Haruskah Darra membeli buku yang penting-penting dulu?

"Tapi semuanya penting," gumam Darra sambil menghitung-hitung.

"...yang anak baru itu."

"Andarra?"

Darra memiringkan kepalanya saat terdengar bisik-bisik dari balik rak di sebelahnya. Sepertinya suara dua orang cewek. Apakah namanya yang barusan disebut?

"Iya, yang tukang cemberut itu. Dengar-dengar dia dari panti asuhan, loh."

"Keluarga kaya mana yang ngambil dia?"

"Kok keluarga kaya?"

"Iya, lah. Kalau ada keluarga yang ngadopsi anak, biasanya kan yang diambil anak bayi atau masih kecil. Kalau udah sebesar dia, paling disuruh kerja. Ini udah dibawa ke Jakarta, disekolahin di tempat yang bagus juga. Pasti yang ngambil dia keluarga kaya."

Darra tertegun. Jadi begitu penilaian anak-anak di sekolah tentang dirinya. Tukang cemberut? Bukan salahnya kalau dia tidak mau menebar senyuman. Apalagi kalau tahu mereka membicarakan hal-hal seperti itu di belakangnya.

"Apa dia masih ada hubungannya sama Agung, ya?" bisik-bisik tadi masih berlanjut. "Kayaknya tiap hari Agung berangkat sama pulang bareng dia."

"Iya juga, ya. Agung kan enggak pernah dekat-dekat sama cewek. Mungkin dari saudaranya atau kerabat keluarganya."

"Atau mereka pacaran?"

"Enggak mungkin, lah. Gue aja deketinnya susah. Masa Agung mau pacaran sama cewek kayak dia?"

Cewek-cewek itu terkikik. Darra tidak tahan lagi. Ia langsung bangkit dan bergegas keluar dari perpustakaan. Begitu membuka pintu, Darra bertabrakan dengan seorang cowok. Buku yang dibawa cowok itu terjatuh, Darra langsung membungkuk untuk mengambilnya.

"Maaf, ya," gumam Darra. Ia sempat melihat isi buku itu. Gambar huruf berwarna-warni yang sama dengan yang waktu itu dilihatnya. Namun, Darra langsung menutup buku itu dan mengembalikannya tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Saat Darra kembali ke kelas, dilihatnya Rahmi sedang mengobrol dengan dua cewek. Rahmi langsung melambaikan tangan begitu melihat Darra datang.

"Ini kenalin teman-teman aku," kata Rahmi saat Darra duduk di kursinya. "Ini Rin, waktu kelas X kita sekelas. Kalau ini Maya, rumahnya dekat sama rumah aku."

"Kamu udah pernah ke rumah Rahmi?" tanya Maya. Darra menggeleng.

"Kapan-kapan ikut main. Rumah Rahmi kan jual roti buatan sendiri. Enak deh," sahut Rin. "Oh iya, aku sering lihat kamu pulang sama Agung. Kamu udah lama temenan sama Agung?"

"Enggak. Baru kenal pas sekolah di sini," jawab Darra.

"Kita pulangnya juga searah, lho. Kapan-kapan bisa bareng," kata Rin. Darra hanya membalasnya dengan mengangguk sambil tersenyum canggung.

Mereka mengobrol cukup lama. Ketika akhirnya bel tanda masuk berbunyi, Rin dan Maya pamit kembali ke kelas mereka masing-masing. Darra mengeluarkan buku catatan Sosiologinya. Bu Imas menyuruh mereka membentuk kelompok yang terdiri dari empat orang. Suasana kelas langsung hiruk pikuk. Dengan cepat Agung sudah duduk di depan Darra sambil membawa Ario bersamanya.

Close To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang