# 14

18 6 0
                                    

Darra berdiri di depan ruang Tata Usaha sambil memandangi kartu iuran sekolah di tangannya. Lagi-lagi ia dipanggil karena menunggak selama dua bulan. Ia diberi peringatan oleh Bu Erni untuk tidak mengulur-ngulur membayar iuran sekolahnya lagi. Apalagi bulan depan sudah ujian semester. Darra tidak mau dikeluarkan dari ruangan lagi seperti Try Out waktu itu.

Darra menyelipkan kartu iuran sekolah di dalam buku pelajaran yang dibawanya lalu kembali ke kelas. Sepanjang pelajaran pikirannya teralihkan oleh kartu berwarna biru itu. Bagaimana dia akan menyampaikan pada Aline nanti? Setidaknya Darra harus meminta uang untuk membayar tiga bulan sekaligus. Namun, bagaimana kalau Aline hanya mau membayar tunggakan dua bulan? Yang lebih penting lagi, apa kali ini Aline bersedia memberikan uang untuk sekolah Darra? Darra sendiri tidak tahu apakah uang jajannya sudah cukup untuk melunasi iuran yang kemarin.

Tiba-tiba Darra merasakan sikunya disentuh. Ia menoleh dan melihat Rahmi diam-diam memberikan sebuah kertas yang dilipat kecil-kecil.

"Ra, dari Agung," bisik Rahmi.

Darra menerima kertas itu lalu membukanya. Ia bisa melihat tulisan Agung yang kecil-kecil dan sedikit berantakan.

Melamun? Ada yang lagi dipikirin? Mau pulang bareng supaya bisa cerita?

Darra melirik ke arah Agung yang jelas-jelas sedang memandanginya. Namun, Darra menggeleng sebagai jawaban. Mana mungkin dia menceritakan hal seperti ini pada Agung. Tempo hari Darra pernah mengembalikan segepok uang yang diberikan oleh ibunya Agung secara cuma-cuma. Masa kali ini dia mau terang-terangan mengatakan bahwa dia sedang butuh uang?

Begitu bel tanda istirahat berbunyi, Darra merapikan bukunya dengan malas-malasan. Setelah menunggu gurunya dan teman-temannya berdesakan keluar dari kelas, Darra memeluk buku Akuntansi di tangannya, dan membawanya ke kelas XI Sos 5. Ia tidak memperhatikan Rin yang menyapanya saat mereka berpapasan. Pikirannya sedang mumet dan Darra memutuskan untuk mendinginkan kepalanya di perpustakaan. Jadi ia ingin segera menemui Dika agar bisa mengembalikan bukunya. Cowok itu sedang duduk di mejanya sambil memainkan ponsel di tangannya. Bahkan Darra tidak menyadari bahwa Vina juga duduk di sebelah Dika.

"Makasih," gumam Darra sambil meletakkan buku itu di meja Dika. Vina mendelik ke arah Darra yang berbalik pergi.

"Buku siapa lagi yang dia pinjam?" tanya Vina tajam.

"Buku gue," jawab Dika tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya.

"Gue tahu dia emang dari panti asuhan, tapi dia aja bisa sekolah di sini, masa keluarganya enggak bisa beliin buku?" tukas Vina. Ia bertambah jengkel karena Dika mengabaikannya.

Begitu kembali ke kelas, Vina meluapkan kejengkelannya kepada kedua sahabatnya. Mendengar cerita Vina, Carla teringat sesuatu.

"Oh iya. Ngomong-ngomong, kemarin gue enggak sengaja dengar ada yang cerita kalau mereka pernah lihat Si Cemberut pulang bareng sama Dika," kata Carla.

"Dika?" ulang Vina tidak percaya. "Dika-nya gue?"

"Ya, Dika mana lagi yang kenal sama Si Cemberut," balas Carla.

"Kenapa mereka bisa yakin kalau Dika pulang sama cewek itu? Emangnya mereka ngawasin sampai ke rumah?" tuntut Vina.

"Ya enggak sih," jawab Carla. "Cuma mereka ketemu pas pulang sekolah, Dika naik motornya, ketemu Si Cemberut, terus mereka pergi bareng."

"Mereka enggak cuma kelihatan sekali, tapi beberapa kali," sahut Sheila. "Dika sih emang bisa pulang lewat arah rumahnya Si Cemberut, tapi cewek itu kan biasanya pulang sama Agung. Masa udah berapa lama dia lebih milih pulang sendirian lewat gang sana. Menurut lo, kenapa?"

Close To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang