# 42

24 6 4
                                    

Darra duduk sambil mencengkeram kantong kresek berisi seragam dan buku-bukunya yang basah di pangkuannya. Sepanjang perjalanan pikirannya tidak menentu. Bagaimana ia harus mengatakannya? Apakah ini keputusan yang tepat?

"Aku antar sampai rumah?" tanya Dika tiba-tiba, mengagetkan Darra.

Darra menggeleng. "Sampai taman biasa aja," jawabnya.

Tanpa terasa motor Dika telah tiba di taman dekat rumah. Darra turun dari motor dengan gugup sementara Dika mematikan mesin lalu menurunkan standar motornya.

"Kenapa ikut turun?" tanya Darra.

"Bukannya kamu bilang ada yang mau diomongin?" Dika balik tanya sambil bersandar di motornya. "Mau ngomong di sini atau mau duduk?"

"Di sini aja. Aku juga enggak lama-lama." Darra menarik napas dalam-dalam. "Aku pengen kita udahan."

Dika memandang Darra sambil mengernyitkan dahi, seolah tidak mengerti apa yang Darra bicarakan.

"Aku mau kita putus—kalau kita emang pernah pacaran."

Barulah mata Dika melebar. Ia langsung menegakkan tubuhnya. "Kenapa? Aku salah apa?"

"Kamu enggak salah apa-apa. Aku yang bodoh. Aku yang percaya dengan semua hubungan enggak jelas ini." Darra menghela napas. "Mungkin cuma aku yang selama ini menganggap ada hubungan di antara kita. Aku rasa udah cukup. Itu aja yang mau aku omongin."

"An, kamu ngomong apaan, sih?" tanya Dika sambil buru-buru menarik lengan Darra yang berbalik hendak pergi. "Siapa yang bilang kalau hubungan ini enggak jelas?"

Darra menepis tangan Dika dari lengannya. "Sikap kamu yang udah nunjukin semuanya," jawabnya. Ia mengacungkan kantong kresek di tangannya. "Semua ini aku dapat karena kamu enggak ngasih kejelasan soal hubungan kita ke Vina. Jadi, kita ini pacaran atau enggak, dia tetap enggak suka aku berhubungan sama kamu, dan dia enggak akan berhenti ganggu aku. Sejak berhubungan sama kamu, aku jadi sering berantem, dan sekarang perlengkapan sekolah aku ikut jadi korban. Aku enggak mau urusan sekolah aku kacau. Jadi mendingan kamu balik lagi ke Vina, apapun hubungan kalian."

"An, kamu jangan ngomong kayak gitu. Kamu dengerin penjelasan aku dulu," kata Dika sambil berusaha menahan Darra.

Darra mendelik ke arah Dika. "Cuma itu yang mau aku omongin. Aku harus buru-buru pulang untuk jemur buku-buku ini. Makasih udah ngantarin aku. Hati-hati."

Darra melangkah melewati Dika tanpa menoleh lagi ke belakang. Dadanya terasa sakit karena ia tidak ingin menangis. Tidak, ia sudah merasa cukup dengan semua yang dialaminya selama ini.

~***~

Dika menatap Vina di seberangnya sementara tangannya mengetuk-ngetukkan pulpen ke bukunya. Sejak Darra berusaha mengakhiri hubungan mereka tadi, Dika jadi tidak berkonsentrasi pada pelajaran Ekonomi yang sedang berlangsung. Sebenarnya Dika malas kembali ke sekolah, kalau saja hari itu tidak ada Penambahan Materi atau PM yang dilangsungkan untuk persiapan ujian nanti.

Dika mengalihkan pandangannya ke arah papan tulis di depan. Saat ia berusaha menyembunyikan hubungan mereka, ia tidak tahu dampaknya akan begitu besar terhadap Darra. Selama ini Dika tidak pernah menganggap serius suatu hubungan karena ia masih sekolah. Namun, saat ia memutuskan untuk berpacaran dengan Darra, Dika tidak ingin hubungan mereka ikut berakhir setelah mereka lulus SMA nanti.

Dika merasa bersalah karena ia tidak mengenal karakter Darra dengan baik, padahal hubungan mereka sudah berjalan cukup lama. Ia tidak tahu cewek itu bisa sangat keras kepala. Rasanya Dika seperti sedang menghadapi Abrar. Bahkan cara mereka marah sangat mirip sehingga Dika tidak mampu berkata-kata. Apa mungkin karena Darra dan Abrar memiliki kedekatan yang tidak Dika ketahui, sehingga sifat mereka jadi begitu mirip?

Close To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang