# 22

23 5 4
                                    

Darra berdiri di depan sebuah gerbang berwarna cokelat, tempat yang tidak asing baginya, dan sudah setengah tahun tidak didatanginya. Selama dia tinggal di sana, gerbang itu tidak pernah tertutup, kecuali di malam hari. Rumah itu juga biasanya diramaikan adik-adiknya bermain di teras rumah. Namun, kali ini rumah itu sepi, semua pintu dan jendela tertutup rapat. Bahkan ada tulisan RUMAH INI DIJUAL terpampang di pintu gerbang yang dikunci dengan gembok.

Hati Darra mencelus. Ke mana semua penghuni rumah itu? Apakah sakitnya Bu Retno parah sekali hingga harus menjual rumahnya demi biaya berobat? Kalau begitu, ke mana adik-adiknya?

"Mbak Darra!"

Darra menoleh. Tanjung, anak perempuan yang kini duduk di kelas 6 SD, berlari menghampirinya. Anak itu sering bermain dengan adik-adiknya dan Darra lega melihat wajah yang dikenalnya.

"Kok Mbak Darra baru pulang? Waktu itu dicariin sama orang-orang," tanya Tanjung begitu tiba di hadapan Darra.

"Iya. HP Mbak mati," jawab Darra. Ia membungkuk agar sejajar dengan anak itu. "Tanjung, tahu enggak kenapa rumah ini kosong? Yang lain pada ke mana?"

"Mbak Darra belum tahu? Kan Bu Retno enggak ada."

Darra mengangkat alisnya. "Bu Retno masih di rumah sakit?"

"Enggak, kok. Waktu itu dijemput sama anaknya, dibawa ke Semarang."

Darra menghela napas lega. Ia tidak bisa menanyakan jika Bu Retno masih sakit atau sudah sembuh, karena mungkin Tanjung tidak mengerti tentang hal itu. Namun, kalau rumahnya dijual dan beliau ke Semarang, lalu bagaimana dengan anak-anaknya?

"Mereka pindah, tapi aku enggak tahu ke mana," jawab Tanjung. "Tanya Mamak aja ya. Soalnya aku enggak ngerti."

Darra mengikuti Tanjung ke rumahnya, jaraknya tidak jauh dari panti. Ibunya yang sedang menjemur kacang di halaman rumah, langsung menghampiri begitu Darra tiba.

"Kenapa baru sekarang datang? Waktu itu saya hubungin, enggak bisa terus," kata ibunya Tanjung sambil menepuk-nepuk lengan Darra. Air mata menggenangi pelupuk matanya.

"Rumah Bu Retno dijual, terus adik-adik saya ke mana ya, Bude?" tanya Darra.

"Sehari setelah Bu Retno enggak ada, anak-anaknya dibawa sama orang yayasan," jawab ibunya Tanjung. "Tapi saya enggak ngerti ke yayasan mana. Coba kamu hubungin anaknya Bu Retno yang di Semarang. Waktu itu dia ngasih nomornya ke saya untuk dikasih ke kamu."

Darra terdiam sesaat. "Umm... kata Tanjung, Bu Retno dibawa ke Semarang. Emangnya Ibu sakit apa, Bude? Kok rumahnya sampai dijual segala?"

Ibunya Tanjung memandang Darra kaget. "Kamu kemari tapi belum tahu soal Bu Retno?" tanyanya. Ia tercekat lalu menutupi mulutnya dengan kedua tangan sambil memandang Darra dengan kasihan. Darra langsung gugup melihatnya. "Bu Retno terkena stroke, waktu itu pagi-pagi jatuh di kamar mandi. Nak Eko yang langsung ngasih tahu saya. Ibu pingsan pas saya ke sana, saya langsung telepon rumah sakit terus dijemput ambulans. Dua hari dirawat di rumah sakit, tapi Ibu enggak bangun-bangun."

Darra menatap ibunya Tanjung, menunggu beliau meneruskan ceritanya dengan tegang. Kali ini air mata ibunya Tanjung akhirnya menetes.

"Ibumu enggak bangun lagi, Mbak Darra," isak ibunya Tanjung. "Ibumu udah enggak ada. Ibu udah meninggal."

Darra terbelalak. Lututnya terasa lemas, dan sebelum ia sadari, ia sudah jatuh tak sadarkan diri.

~***~

Agung memandang berkeliling. Sudah dua jam ia duduk di depan gerbang sekolah, tapi gadis itu tidak terlihat batang hidungnya. Padahal kemarin dia sendiri yang mengajak Agung untuk bertemu di sekolah, tetapi gadis itu tidak datang. Hari ini pun belum ada tanda-tanda kehadirannya, padahal sedang ada pembagian rapor. Memangnya dia tidak akan datang mengambil rapornya?

Close To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang