# 48

27 6 10
                                    

Setelah melihat Darra berbelok bersama Rin, Dika berpamitan pada teman-temannya lalu berbalik memasuki lapangan sekolah lagi. Ia sedang mengeluarkan motornya ketika tiba-tiba punggungnya ditepuk dari belakang. Dika menoleh dan melihat Vina sedang melotot ke arahnya.

"Gue mau ngomong sama lo," tuntut Vina.

"Ngomong apa lagi? Gue mau pulang," balas Dika cuek. Namun, Vina menarik lengannya dengan tidak sabar.

"Lo pacaran sama Si Cemberut?" tanya Vina.

Dika menyentakkan lengannya. "Namanya Andarra dan itu bukan urusan lo."

"Orang-orang bilang lo pacaran sama dia, jadi itu benar? Ngapain, sih? Kayak enggak ada cewek lain aja."

Dika menghela napas lalu berbalik menghadapi Vina. "Satu-satunya alasan gue pernah putus sama Andarra adalah karena kelakuan lo dan omong kosong lo soal dia sama Abrar. Sekarang gue tahu mereka bersaudara dan gue enggak peduli sama lo. Jadi kenapa gue enggak bisa balikan sama dia?"

Dika menggelengkan kepala lalu duduk di motornya dan bersiap untuk pulang. Vina menggertakkan giginya sambil berpikir cepat.

"Putusin dia!" seru Vina. Namun, Dika mengabaikannya. "Putusin dia atau gue akan..."

"Akan apa?" tantang Dika. "Kalau nanti gue dengar sesuatu terjadi sama Andarra, gue udah tahu itu ulah lo. Jadi enggak perlu repot-repot."

Dika menyalakan motornya lalu mengendarainya keluar dari halaman sekolah, tidak memedulikan Vina yang berteriak-teriak memanggilnya. Dika sudah muak. Bertahun-tahun dibayang-bayangi oleh perempuan yang bahkan bukan pacarnya, membuatnya kini bertanya-tanya. Kenapa dia harus takut dengan Vina? Semenjak berhubungan dengan Darra membuat Dika merasa seharusnya dia maju untuk membela, bukannya menghindar.

Namun, sore itu Dika terbangun karena tubuhnya diguncang-guncang. Ia terduduk dan mendapati mamanya memanggilnya dengan tidak sabar.

"Ka, bangun. Ikut Mama ke rumah sakit," kata mamanya.

"Ngapain? Mama sakit?" tanya Dika.

"Bukan. Tadi Mama dapat kabar, Vina masuk rumah sakit."

Dika melengos. "Mama pergi sendiri aja, deh. Aku udah ada janji."

"Tapi mamanya Vina bilang Vina minum banyak obat tidur setelah berantem sama kamu."

Dika mengernyitkan dahi. "Apa?"

Satu jam kemudian Dika dan mamanya sudah berada di UGD sebuah rumah sakit. Vina terbaring di sana dengan infus di tangan kirinya. Namun, kelihatannya dia baik-baik saja.

"Maafin Dika ya, Vina. Dia pasti enggak bermaksud ngomong kasar ke kamu. Kamu kan tahu, kadang Dika suka enggak sabar kalau lagi marah," kata mamanya Dika sementara Dika tidak menyahut.

"Iya, enggak apa-apa," balas mamanya Vina. "Saya kaget aja pas pulang sekolah Vina nangis dan bilang kalau dia abis berantem sama Dika. Dia ngamuk-ngamuk di kamar, terus pas saya tengokin, ternyata..."

Mamanya Vina tidak meneruskan kata-katanya. Dika hanya menunduk saat mamanya mengusap-usap punggung mamanya Vina. Mau tidak mau Dika merasa bersalah jika memang Vina masuk rumah sakit karena dirinya. Tiba-tiba Vina meraih tangannya.

"Temenin gue, ya," pinta Vina lirih. "Selama lo di samping gue, jangan hubungin dia atau nemuin dia. Pokoknya gue mau perhatian lo ke gue aja."

Dika melirik ke arah Mama dan mamanya Vina yang sedang memandangnya. Kalau seperti ini, bagaimana Dika harus menolaknya?

~***~

Darra menggeliat di kursinya. Punggungnya terasa pegal karena duduk di meja belajarnya selama beberapa jam. Ia menoleh ke arah jendela dan melihat langit yang semakin gelap. Sepertinya akan turun hujan. Darra bangkit lalu pergi ke balkon untuk mengangkat pakaian yang sedang dijemur, kemudian dilihatnya sebuah mobil memasuki halaman. Darra buru-buru membawa semua pakaian itu ke dalam dan memasukkannya ke keranjang pakaian lalu berlari menuruni tangga.

Close To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang