# 46

26 5 8
                                    

Dika memarkir motornya di halaman sekolah. Dilihatnya teman-temannya tidak ada di depan gerbang seperti biasa, jadi Dika langsung masuk ke dalam sekolah, dan naik ke lantai dua. Ia pergi ke kelas Sos 3 dan melihat Emil, Ivan, dan Fajri di depan kelas. Namun, bukan mereka yang Dika cari. Jadi ia pergi ke kelas Abrar dan menemukannya sedang mengobrol dengan Agung di mejanya.

"Baru datang?" sapa Agung begitu Dika menghampiri mereka.

Dika mengangguk sambil duduk di samping Abrar. Namun, perhatiannya tertuju pada sahabatnya itu. "Jadi lo beneran adik kakak sama Andarra?"

Abrar melengos. "Masih ngomongin itu aja."

"Iya, lah! Selama ini lo enggak pernah ngomongin soal itu ke kita. Iya, kan?" ujar Dika, meminta dukungan Agung. "Apalagi semenjak Andarra pindah ke sekolah ini. Dia kan sering ngabisin waktu bareng kita, tapi elo enggak pernah ngasih tahu kalau kalian saudara."

"Awalnya gue juga males ngakuin dia," kata Abrar akhirnya. "Tapi semakin gue kenal dia, ternyata dia enggak seburuk yang gue kira."

Agung mengernyitkan dahi. "Emangnya lo juga enggak kenal Darra sebelumnya?"

Abrar menggeleng. "Gue juga baru tahu pas bokap bilang mau bawa dia ke Jakarta," jawabnya. "Kalian pasti ngerti lah, gimana rasanya kalau tiba-tiba kalian punya adik yang enggak dikenal. Pikiran gue udah langsung negatif ke dia, ke nyokapnya, sama ke bokap gue juga. Gue kasihan sama nyokap, jadi mau enggak mau gue ikut enggak suka sama Andarra."

"Umm... Gue enggak mau berpikiran buruk kayak anak-anak lain," gumam Dika. "Tapi... ya yang kita tahu kan nyokap lo sama Andarra beda. Jadi, apa dia..."

"Bukan, bukan," jawab Abrar cepat. "Ceritanya panjang. Intinya, bokap gue lebih dulu berhubungan sama nyokapnya Andarra. Terus karena urusan politik keluarga, kakek gue nyuruh bokap nikah sama nyokap gue, tapi bokap sama nyokapnya Andarra udah nikah lebih dulu."

"Kalau nikahnya sama nyokapnya Darra duluan, kenapa dia lebih muda setahun dari lo?" tanya Agung.

"Bokap baru ngasih tahu nyokapnya Andarra waktu gue udah lahir. Ternyata nyokapnya Andarra juga lagi hamil. Gue lahir duluan, tapi jaraknya enggak benar-benar setahun," tutur Abrar, membuat Dika dan Agung mengangguk-angguk.

Dika berdecak. "Kenapa sih lo enggak bilang dari awal? Kalau begini kan jadinya banyak salah paham."

"Tadinya emang nyokap yang ngelarang buat ngasih tahu kalau gue sama Andarra bersaudara. Andarra juga takut nanti gue jadi bahan pembicaran, tapi lama-lama gue enggak tahan ngelihat dia diperlakuin semena-mena hanya karena dia dari panti asuhan." Abrar bersandar di kursinya sambil menghela napas. Ia menoleh ke arah Dika. "Ngomong-ngomong, salah paham kenapa? Lo termasuk orang-orang yang ngira gue pacaran sama Andarra?"

Agung menepuk lengan Abrar. "Mereka udah lama pacaran."

"Siapa?" tanya Abrar.

"Dika sama Darra," jawab Agung. Abrar langsung menendang kaki kursi yang diduduki oleh Dika.

"Waktu di Cimacan aja enggak mau ngaku," sungut Abrar.

"Lo kan tahu Vina kayak gimana," kata Dika, berusaha membela diri.

"Ya tapi tetap aja jadinya Vina menggila karena nganggap Andarra yang deketin lo! Lo tau enggak gimana repotnya gue ngurusin masalah Andarra sama Vina?" omel Abrar.

"Gue juga ngira kalian pacaran, semua bilang begitu. Gue lihat lo lebih perhatian, kalau ada apa-apa juga Andarra lebih sering mengandalkan lo. Gue sebagai pacarnya merasa gagal," gerutu Dika. "Terus dia minta putus. Gue enggak bisa apa-apa karena gue pikir lo lebih baik buat dia."

Close To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang