# 27

25 5 3
                                    

Siang itu Darra berada di bus sekolah bersama Rin, Rahmi, dan Maya. Mereka akan pergi ke rumah Rin untuk mengerjakan kisi-kisi soal ujian kenaikan kelas nanti. Mereka duduk di bangku paling belakang sembari mengobrol ketika kemudian lima orang pria naik ke atas bus.

Darra melirik mereka dan sudah tidak memperhatikan obrolan dengan teman-temannya. Perasaannya mulai tidak enak saat salah satu dari mereka berjalan ke arah pintu belakang yang memang tidak dibuka lalu berdiri di sana. Darra curiga karena semua kursi sudah penuh, ditambah lagi dua diantara mereka berdiri di tengah dengan postur menghalangi jalan. Darra mengawasi seorang lagi yang berjongkok di samping sopir bus, sementara satunya lagi berdiri di pintu depan yang terbuka bersama kondektur bus.

"Jalan terus, Pir!" teriak pria berbaju biru, salah satu yang berdiri di bagian tengah bus.

Seluruh penumpang bus tersentak kaget, termasuk Darra dan teman-temannya. Dada Darra berdebar cepat saat melihat pria berbaju biru itu mengeluarkan pisau lipat dari saku belakang celananya lalu mengacungkannya ke arah para penumpang.

"Diam lo semua. Keluarin semua uang lo!" perintah pria berbaju biru itu.

Darra menelan ludah dengan khawatir. Ia melihat beberapa penumpang melepaskan perhiasan yang mereka pakai, bahkan ada yang korbannya pelajar juga. Tiba-tiba Rin menarik tangan Darra lalu mengajaknya berdiri.

"Eh, mau ke mana?" tanya pria yang berdiri di tengah.

"Mau turun, Bang. Rumah saya udah kelewatan," jawab Rin dengan suara gemetar.

"Siapa suruh turun? Duduk!" bentak si pria berbaju biru sambil menodongkan pisaunya ke arah Rin.

Darra dan teman-temannya kembali duduk sementara bus melaju bertambah cepat. Untunglah para penodong itu segera turun dari bus, kemudian sopir kembali melaju dan menghentikan busnya di depan pos polisi yang tidak jauh dari situ.

"Yang tadi barang-barangnya diambil, langsung lapor ke polisi saja. Mumpung orangnya masih dekat," kata sopir bus itu.

Para penumpang pun berbondong-bondong turun dari bus dan pergi ke pos polisi. Setelah itu bus kembali melaju. Darra dan teman-temannya turun di halte berikutnya. Mereka pun membicarakan kejadian tadi begitu turun dari bus.

"Aduh, gue masih deg-degan banget!" kata Rin sambil menaiki jembatan penyeberangan.

"Lagian Rin berani banget mau turun," sahut Rahmi.

"Habisnya aku panik, Mi!" balas Rin. "Aku sih enggak pakai perhiasan, tapi gimana kalau mereka nodong barang yang lain?"

Kejadian itu masih dibicarakan hingga esok hari. Rin menceritakannya kembali pada Emil dan teman-temannya.

"Tapi kamu enggak luka, kan?" tanya Emil.

"Enggak, tapi penjahatnya nodongin pisaunya ke aku!" jawab Rin menggebu-gebu. "Aku takut banget. Untung ada pos polisi dekat situ, jadi mereka cepat turun."

"Mereka naik dari mana?" tanya Ivan.

"Dari sebelum rel kereta," jawab Rin.

"Bukannya teman-temannya Abrar yang preman nongkrongnya di dekat situ?" tanya Agung sambil menoleh ke arah Abrar.

"Maksud lo, semua preman dekat situ berarti teman gue?" sungut Abrar. Agung membalasnya dengan tertawa.

"Berarti emang kamu enggak boleh pulang naik bus," kata Emil.

"Habis kasihan Rahmi sama Maya. Mereka kan enggak biasa jalan sejauh itu kayak aku dan Darra," jawab Rin.

"Tapi emang bahaya juga sih kalau ada penumpang umum yang naik bus sekolah," sahut Dika. "Namanya aja bus sekolah. Mestinya kan pelajar-pelajar aja yang boleh naik."

Close To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang