# 43

26 6 11
                                    

Bel tanda istirahat kedua telah berakhir, membuat Darra merapikan buku yang sedang dibacanya. Ia bangkit lalu membawa buku-buku itu dan mengembalikannya ke rak. Saat keluar dari perpustakaan, dilihatnya Bu Erni sedang berjalan menuju ruang BP, diikuti oleh Abrar.

Darra mengawasi Abrar yang memasuki ruang BP sambil mengernyitkan dahi. Apa Abrar terkena suatu masalah? Darra cepat-cepat mengikutinya lalu berdiri di balik pintu ruang BP yang sedikit terbuka. Ia bisa mendengar percakapan Bu Erni dan Abrar di dalam.

"Berarti benar kan, kamu buang tas Vina ke selokan?" terdengar suara Bu Erni dengan nada tinggi.

"Saya enggak pernah bilang saya enggak melakukannya kok, Bu," balas Abrar.

"Terus kenapa kamu buang tasnya ke selokan?"

"Saya udah bilang, saya cuma balas perbuatannya Vina."

"Kalau memang Vina membuang tas Andarra ke dalam bak mandi, mestinya kamu lapor ke saya atau wali kelas mereka. Bukan membalasnya."

"Kalau saya enggak balas, Vina enggak akan tahu rasanya bukunya basah semua, harus dikeringin selama berjam-jam, dan enggak bisa ikut PM."

"Tapi kalian sudah kelas dua belas, sebentar lagi kalian ujian. Mestinya kamu jaga sikap supaya enggak kena masalah. Masa kalian mau ribut terus?"

"Mestinya Ibu bilang begitu ke Vina. Kan dia yang cari masalah duluan. Saya cuma belain adik saya, karena saya tahu dia enggak akan ngebalas. Dia enggak mau dipanggil ke sini hanya karena ngeladenin orang kayak Vina. Kalau bukan saya yang belain dia, siapa lagi?"

Bu Erni menghela napas. "Nih, kamu tulis sendiri poin kamu di sini."

Darra termenung. Ia merasa bersalah karena telah membuat Abrar mendapat masalah. Apalagi terkena poin yang konon bisa memengaruhi nilai akademisnya. Berapa poin yang didapat kali ini?

Darra terlonjak begitu pintu terbuka. Abrar menoleh ke arahnya. "Ngapain kamu di sini?"

"Kamu dapat poin?" tanya Darra sambil mengikuti Abrar.

"He eh. Emangnya kenapa? Poin cuma angka di kartu aja," jawab Abrar.

"Mestinya kamu jangan balasin Vina. Jadinya kan kamu yang kena masalah."

"Biarin. Biar kapok, kok. Emangnya cuma dia yang bisa nge-bully orang. Biar dia tahu rasanya jadi orang yang dia kerjain." Abrar menoleh ke arah Darra. "Aku emang preman kayak yang Vina bilang, tapi aku enggak akan mukul dia beneran, kok. Kamu tenang aja."

Darra cemberut, tapi dia tidak menjawab. Walaupun merasa tidak enak karena sudah membuat masalah, Darra tetap senang karena ada yang membelanya.

~***~

"Cepat! Cepat!"

Darra dan Rin berlari menuju sekolah. Bel tanda masuk bisa terdengar hingga beberapa meter dan mereka berhasil memasuki gerbang tepat saat bunyi bel berakhir. Mereka masuk melalui pintu depan dan langsung menuju meja piket dengan napas terengah. Namun, saat Darra mengambil buku jurnal kelas mereka, Bu Erni yang sedang duduk di meja itu langsung memberikan setumpuk kartu besar berwarna biru.

"Cari nama kalian di sini, terus tulis poin sepuluh," kata Bu Erni sambil mencatat sesuatu di bukunya.

"Tapi kita kan belum terlambat banget, Bu," kata Rin berusaha membela diri. "Bel aja baru selesai, belum ada lima menit. Biasanya kalau telat sepuluh menit aja masih bisa masuk kelas. Kan baru kena poin kalau udah tiga kali berturut-turut."

"Kok jadi kamu yang ngatur? Kemarin kan kamu juga telat," balas Bu Erni.

Rin cemberut. Beberapa hari ini memang bus yang biasa mereka naiki sering muncul agak siang, ditambah pembangunan fly over yang masih belum rampung membuat mereka datang terlambat. Akhirnya Darra dan Rin tetap mencari kartu dengan nama mereka lalu menuliskan poin sepuluh beserta alasannya. Setelah itu mereka pergi ke kelas.

Close To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang