# 32

21 5 7
                                    

Pagi itu Darra sedang menuliskan daftar pelajaran hari ini di buku jurnal kelas ketika Abrar mendatangi kelasnya. Darra mendongak saat cowok itu meletakkan kantong kresek di meja Darra dengan santai lalu menghampiri teman-temannya yang sedang duduk di bangku di depan kelas. Darra membuka kantong itu dan menemukan dua bungkus roti dan sekotak susu cokelat di dalamnya.

"Sarapan?" tanya Rin yang ikut melongok isi kantong itu. Darra mengangguk.

"Ternyata lo sama Abrar beneran pacaran, ya?"

Darra dan Rin menoleh ke arah Vina yang sedang mengerjakan sesuatu di mejanya. Senyumnya lebih lebar dari biasanya. Darra belum pernah melihat Vina sesenang itu.

"Gue udah nyangka kalau selama ini lo dekat sama Dika karena ada hubungannya sama Abrar. Soalnya gue yakin, Dika enggak suka tipe cewek kayak lo," lanjut Vina. "Gue dukung kok, lo sama Abrar. Kalian cocok!"

Darra memilih untuk tidak menyahut. Biarkan saja Vina berpikir sesukanya. Lagi pula, bukankah justru bagus kalau Vina tidak lagi mencurigainya dengan Dika?

Setelah bel tanda masuk berbunyi, murid-murid mulai memasuki kelas. Kini sudah jadi kebiasaan Darra untuk memperhatikan setiap teman-temannya yang masuk untuk melihat jika ada salah satu temannya yang absen. Maya menghampiri meja Darra dan Rin.

"Untung aku enggak kelupaan," kata Maya sambil menyodorkan sebuah amplop pada Darra. "Ini suratnya Fitri. Dia enggak masuk, sakit."

"Makasih, May," kata Darra sambil membuka surat itu lalu membaca isinya. Setelah itu ia mencatat nama Fitri di buku jurnal.

"Rin, kemarin gue sakit."

Darra menoleh dan melihat Dika sudah berdiri di sebelah meja Rin. Cowok itu memang absen kemarin dan tidak memberikan surat izin atau sakit.

"Suratnya?" tanya Rin sambil mengulurkan tangannya.

"Enggak ada," jawab Dika setengah berbisik. "Bikinin, dong. Gue enggak pernah ke dokter kalau sakit. Cuma minum obat warung sama tidur. Gimana, dong? Bikinin, ya?"

"Masa gue bikinin surat sakit buat lo?" protes Rin.

"Sekali ini aja, please. Gue beneran sakit, kok. Kalau enggak percaya, tanya nyokap gue aja."

"Terus kenapa enggak minta nyokap lo buat bikinin suratnya?"

"Nyokap bilang kemarin udah nelepon ke sekolah, jadi dia malas bikinin surat segala. Ayo, dong."

Rin berdecak. "Ya udah. Nanti Darra yang bikinin. Tulisannya bagus, kayak dokter," katanya.

Darra langsung melirik Rin. Entah temannya itu sedang meledek atau memuji.

"Kenapa aku jadi bikinin surat sakitnya Dika?" protes Darra setengah berbisik setelah Dika kembali ke kursinya.

"Enggak apa-apa, sekali-sekali." Rin balas berbisik. "Lagian kan biar kalian tambah dekat. Soalnya dia datangin kamu, bukan Vina."

"Dia datangin kamu, bukan aku," balas Darra.

Setelah itu tetap saja Dika selalu mendatangi Rin jika dia butuh sesuatu, walau sebenarnya ditujukannya pada Darra. Apalagi setelah beberapa minggu menjabat sebagai pengurus kelas, Vina tetap lebih sering menanyakan absen murid pada Darra. Murid-murid lain juga lebih memilih melapor pada Rin. Alhasil Rin dan Vina bertukar jabatan. Rin yang menjadi sekretaris dan memegang absensi kelas, sementara Vina menjadi bendahara menemani Carla.

Setelah beberapa minggu sekelas dengan Dika, Darra jadi mengetahui macam-macam kelakuan cowok itu. Mulai dari kebiasaannya menggambar di jam pelajaran, sampai sifatnya yang pelupa. Karena rumah Dika cukup jauh dari sekolah, jadi ia sering melupakan buku pelajarannya karena harus bangun pagi-pagi sekali. Bahkan pernah karena terburu-buru, Dika malah membawa helmnya ke dalam kelas, dan meninggalkan tas sekolahnya di rumah.

Close To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang