Darra menyeruput tehnya sambil menikmati sepiring ubi rebus. Matanya tidak lepas dari buku Chicken Soup yang ada di hadapannya. Kemudian ponsel di sebelahnya berbunyi. Nama Abrar tertera di layarnya. Darra buru-buru menelan ubi yang sedang dikunyahnya lalu menjawab teleponnya.
"Halo?"
"Aku kira kamu udah berangkat," kata Abrar dari seberang.
"Belum. Aku masih sarapan," jawab Darra sambil menyeruput tehnya kembali lalu meletakkan cangkirnya.
"Hari Jumat ini aku ke sana, ya."
"Wah, tapi aku belum gajian. Nanti aku enggak bisa kasih kamu makan. Apa aku jual kalungnya aja, ya?" tanya Darra sambil bangkit lalu berjalan ke arah kamarnya.
"Emangnya aku ke sana buat minta makan? Aku susah-susah loh dapatin kalung itu buat kamu. Awas ya kalau kamu jual!" omel Abrar. Darra tertawa.
"Iya, iya. Aku bercanda. Ya udah aku siap-siap berangkat dulu, ya. Nanti malam aku kabarin kalau udah pulang."
Darra mengakhiri teleponnya lalu meraih sebuah kotak di meja riasnya. Ia mengeluarkan sebuah kalung emas putih dengan liontin huruf A. Ia memakai kalung itu dan tidak akan lupa bagaimana ia menerimanya empat tahun yang lalu. Darra mengambil blazernya kemudian pergi untuk bekerja.
~***~
Darra berdiri di depan gerbang sekolah sambil terus memandang ke arah jalan. Tak lama kemudian Rin muncul sambil setengah berlari ke arahnya.
"Maaf, ya! Aku bangunnya kesiangan. Busnya juga datangnya telat," kata Rin dengan napas tersengal.
"Enggak apa-apa," jawab Darra sambil masuk ke dalam sekolah bersama Rin.
"Kamu udah lihat pembagiannya?"
"Belum. Maya sama Rahmi masih ngantre bayar iuran."
Mereka pergi ke loket di seberang ruang Tata Usaha. Di sana terdapat antrean panjang murid-murid yang akan mendaftar ulang untuk kenaikan kelas. Untungnya setiap angkatan diberi jam yang berbeda agar antreannya tidak menumpuk.
"May!" bisik Rin.
Maya menoleh. Rin menyodorkan formulir dan uang iuran ke arahnya yang langsung diterima oleh Maya. Rin kembali menghampiri Darra yang menunggu di depan ruang Tata Usaha.
"Enggak apa-apa ya kalau kita nitip begitu? Aku jadi enggak enak," kata Darra.
"Enggak apa-apa, kok. Biar enggak banyak-banyakin antrean," balas Rin. "Gimana kabar Abrar?"
"Udah mendingan. Besok udah bisa pulang, tapi masih dalam perawatan."
"Umm... Nyokapnya?"
Darra melirik Rin. "Ya masih marah, tapi enggak apa-apa, kok."
Setelah setengah jam menunggu, akhirnya Rahmi dan Maya selesai lalu memberikan kartu iuran dan bukti pembayaran pada Darra dan Rin. Mereka pergi ke salah satu ruang kelas untuk mengumpulkan rapor yang telah ditandatangani beserta tanda terima pembayaran iuran sekolah.
Darra menelusuri namanya di daftar murid-murid kelasnya. Ia mendapat kelas XII Sos 3. Ia melirik nama Agung di atasnya dengan tulisan kelas XII Sos 1, sama seperti Rahmi. Darra termenung. Akhirnya ia akan terpisah dengan teman-temannya.
"Ra, kamu kelas berapa?" tanya Rin sambil menghampiri Darra. Ia melihat kertas yang dipegang Darra. "Sos 3? Sama kayak aku!"
Darra langsung menoleh kaget ke arah Rin. "Beneran?"
"Iya!" jawab Rin bersemangat. "Aku, Emil, sama Maya. Kita semua sekelas!"
Darra menghela napas lega. Ternyata hasilnya tidak seburuk yang dibayangkannya. Ia baru hendak menanyakan Dika mendapat kelas berapa ketika Tiza menghampirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Close To You
Teen FictionDarra hidup di sebuah panti asuhan sejak kecil. Saat dewasa, mau tidak mau ia harus meninggalkan tempatnya dibesarkan, dan pindah ke kota lain dengan keluarga barunya, yang ternyata tidak menerima kehadiran Darra di tengah-tengah mereka. Namun, kemu...