Epilog

70 7 37
                                    

Darra menyantap makanannya di depan televisi yang sedang menayangkan kartun Chibi Maruko Chan. Channel lain kebanyakan menayangkan program hiburan sahur dan Darra tidak terlalu menyukainya. Ponsel di mejanya berbunyi. Nama Abrar tertera di layarnya.

"Kamu lagi sahur?" tanya Abrar dari seberang.

"Iya," jawab Darra. "Kamu baru pulang?"

"Enggak, lah. Aku baru dibangunin Bi Atun," balas Abrar. "Nonton kartun lagi?"

Darra terkekeh. "Habis mau nonton apa lagi?"

"Minggu depan kalau aku udah libur kuliah, aku nginap di sana, ya. Biar kamu enggak sahur sendirian lagi. Terus anak-anak ngajakin ngumpul habis lebaran."

Darra terdiam. "Ah, kalo gitu aku titip salam aja..."

"Kamu udah tiga tahun titip salam terus. Emangnya sampai kapan kamu enggak mau ketemu teman-teman kamu? Rahmi juga kecewa karena kamu enggak datang ke nikahannya."

Darra tidak menjawab. Ia memang langsung pergi ke Jogja tanpa berpamitan pada siapa pun selain Abrar. Ia bahkan tidak menunggu pengumuman kelulusan dan baru mengurus ijazahnya setelah tahun ajaran baru untuk memastikan ia tidak bertemu dengan teman-temannya.

Setelah Darra memutuskan untuk memutuskan untuk menetap di Jogja, Papa meminta Darra untuk menempati sebuah rumah di apartemen. Rumah itu memang tidak besar, tapi cukup untuk Darra tinggal sendirian. Awalnya Darra ingin tinggal di kost saja, tetapi Papa ingin keamanan Darra lebih terjamin. Darra juga ingin sesekali mengajak adik-adiknya menginap bersamanya, jadi Darra menerima rumah dari Papa.

Darra memilih untuk langsung bekerja dan melamar menjadi resepsionis di sebuah klinik. Ia mengundurkan diri setahun kemudian setelah memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya. Kadang-kadang Darra juga bekerja lepas di food court sebuah mal pada hari Sabtu dan Minggu. Bukannya Darra tidak diberikan uang lagi oleh papanya, tapi karena Darra merasa kesepian jika berada di rumah sendirian.

Darra menyibukkan dirinya, terutama agar tidak terlalu memikirkan Dika. Selama tiga tahun ini ia memang sama sekali tidak berkomunikasi dengan cowok itu. Namun, bukan berarti Darra melupakannya. Sejak SMA dulu, walau Dika mengabaikannya, Darra mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan berhenti menyayanginya. Lagi pula, menyayangi bukan berarti harus memiliki, kan?

"Mama juga nanyain, kapan kamu mau ke Jakarta," kata Abrar, menyadarkan Darra dari lamunannya. "Kamu udah enggak marah sama Mama, kan?"

Darra hanya menghela napas, tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.

"Pokoknya minggu depan aku ke sana dulu. Soal ngumpul-ngumpul bisa kita omongin lagi nanti," kata Abrar. "Ya udah, aku mau turun dulu. Nanti aku telepon lagi."

Darra mengakhiri teleponnya lalu meletakkan ponselnya kembali ke meja. Ia menyingkap piamanya, mengusap warna ungu yang melingkari lengannya. Semoga saja warna ungu ini segera menghilang sebelum Abrar ke sini minggu depan. Ia akan kerepotan jika harus berbohong lagi seperti tempo hari.

Setelah selesai bekerja hari itu, seperti biasa Darra dan karyawan lain berkumpul untuk briefing bersama kapten. Mal sudah tutup sejak pukul sembilan tadi, tapi seluruh karyawan baru boleh pulang tepat pukul sepuluh. Setelah briefing, Darra bersama teman-temannya turun ke kantor di lantai empat untuk absensi. Seorang cowok dengan jaket hitam dan topi warna senada sedang berdiri menunggu Darra di sana.

"Aku kira kamu udah pulang duluan tadi," kata Darra pada Bimo, karyawan salah satu counter makanan yang ada di food court.

"Aku baru inget ini hari Sabtu, nanti kamu pulang sendirian," ujar Bimo. Cowok ini sebenarnya menyukai Darra, dan walau Darra sudah menolaknya, Bimo tetap bersikeras untuk mengantar Darra pulang.

"Ah, jalanan juga masih ramai, kok," balas Darra.

Mereka keluar melalui pintu karyawan. Langkah Darra sempat terhenti saat melihat seorang cowok berkaus putih dan celana jeans yang sedang berdiri dengan ponsel di tangannya.

"Kamu duluan aja, deh," kata Darra pada Bimo.

"Kenapa?" tanya Bimo.

Darra mengedikkan kepala ke arah cowok itu. Bimo langsung mengerti dan pergi tanpa mengucapkan apa-apa pada Darra. Cowok bernama Reggie itu menyimpan ponselnya di saku celana saat Darra menghampirinya.

"Siapa cowok yang tadi bareng kamu?" tanya Reggie.

"Bimo," jawab Darra singkat.

"Emangnya Bimo pakai topi hitam?" cecar Reggie lagi.

"Dia kan selalu pakai topi."

"Tapi aku enggak pernah lihat yang warna hitam."

Darra memilih untuk tidak menyahut agar menghentikan perdebatan tidak penting yang selalu terjadi seperti ini. Ia melanjutkan langkahnya, sementara Reggie menyusul di sisinya. Darra langsung menepis saat Reggie menggandeng tangannya.

"Enggak usah digandeng segala," gumam Darra.

"Sekarang kamu mau gaya-gayaan jalan sendirian?" tukas Reggie. Cowok itu meraih lengan Darra dan mencengkeramnya, jadi Darra menurutinya.

Mereka melangkah melintasi jalanan yang memang masih cukup ramai. Mereka menyeberang melalui jembatan menuju sebuah universitas. Di sana juga masih banyak mahasiswa yang kelihatannya habis buka puasa bersama. Darra tidak banyak bicara setiap kali pulang bersama Reggie. Cowok itu sempat mengajak Darra makan, tapi Darra beralasan sudah makan di tempat kerjanya tadi.

Kemudian mereka melihat gerombolan mahasiswa yang baru saja keluar dari halaman kampus. Darra menunduk saat mereka berpapasan dengan gerombolan itu. Ia tidak ingin Reggie menuduhnya macam-macam jika cowok itu melihatnya memandang langsung ke arah cowok lain.

Tiba-tiba salah satu dari mahasiswa itu mencolek bahu Darra berkali-kali sambil berlalu. Darra mengernyitkan dahi. Jelas-jelas ia berjalan dengan cowok di sebelahnya, masih berani-beraninya mahasiswa itu menyentuhnya.

Darra berbalik lalu melotot ke arah gerombolan mahasiswa itu. Langkahnya terhenti saat melihat seorang cowok yang sedang berjalan bersama teman-temannya sambil jelas-jelas melihat ke arahnya. Dadanya berdebar cepat saat cowok itu melambaikan tangan sambil tersenyum lebar.

Andika? Apa yang dia lakukan di sini? Di Jogja?

"Siapa? Kamu kenal?" tanya Reggie. Darra buru-buru berbalik menghadap ke depan lagi.

"Enggak. Cuma kesenggol," gumam Darra, berusaha menahan senyum di wajahnya.

~ SELESAI ~

Update on 21 Agustus 2021

P.s: Untuk yang pernah membaca cerita ini di website Ceritera, mungkin juga menyadari adanya perubahan di ending. Gak banyak, kok. Cuma tadinya ada di satu part, tapi sekarang dipisah di part epilog, dan ada sedikiiiit tambahan di dalam epilognya juga.

Terus pernah ada yang sampai email ke redaksi Ceritera-nya untuk nanyain, apakah akan ada seri kelanjutannya? Well, rencananya memang begitu, tapi mungkin akan berada dalam daftar antrean. Karena sekarang lagi banyak yang sedang di kerjakan. So, ditunggu aja, ya!

Makasih sudah membaca sampai selesai! ❤

Close To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang