# 38

29 4 2
                                    

Darra duduk di mejanya sambil memangku dagunya. Belum pernah ia merasa kecewa seperti ini pada hari pertama sekolah. Saat ia dan Rin tiba di kelas, rupanya posisi meja sudah diatur kembali dalam bentuk U seperti saat kelas XI dulu. Darra tidak bisa protes karena seluruh sekolah diatur seperti ini.

"Tapi kan kamu jadi lebih gampang kalau mau lirik-lirik Dika. Enggak perlu repot-repot duduk menyamping atau nengok ke belakang," bisik Rin.

Darra merengut. Memang, ia hanya perlu melirikkan matanya sedikit dan ia bisa melihat seluruh teman-temannya, bahkan yang tadinya duduk jauh di belakang. Namun, sekarang itu semua tidak ada gunanya setelah Dika memilih untuk menutupi hubungan mereka di depan teman-temannya. Bahkan setelah melihat Vina yang jelas-jelas merundung Darra.

Darra menoleh saat melihat ada yang berjalan memasuki kelas. Namun, tanpa sadar ia memalingkan wajahnya setelah menyadari bahwa Dika yang sedang melintas di sebelahnya. Darra merasa marah—tidak, lebih tepatnya kecewa dengan Dika. Jika ia memang benar-benar tidak ingin ada yang mengetahui hubungan mereka, kenapa malam itu Dika menemaninya di ruang kesehatan?

Darra memutuskan untuk tidak memedulikan Dika maupun Vina yang semakin memamerkan kedekatannya dengan Dika. Bahkan Vina sering sengaja menceritakan mengenai Dika pada Darra. Mungkin karena Vina senang ternyata Dika tidak ada hubungan apa-apa dengan Darra.

Karena semester baru dimulai, jadwal pelajaran pun berubah untuk sisa semester. Seperti biasa, Darra bertugas menuliskan jadwal pelajaran yang baru di papan tulis. Tiba-tiba Bu Erni datang dan meminta Vina ke ruangannya. Darra ikut menoleh lalu mengedikkan kepala ke arah Rin yang membalasnya dengan mengangkat bahu.

Namun, setelah Darra kembali ke mejanya, Bu Erni datang lagi dan memanggilnya.

"Andarra, ikut saya," perintah Bu Erni. Kali ini Darra dan Rin berpandangan.

"Apa ini ada hubungannya sama Vina?" bisik Rin setelah Bu Erni berbalik pergi.

"Enggak tahu." Darra balas berbisik. "Aku pergi dulu."

Darra bergegas menyusul Bu Erni yang sudah menuruni tangga. Bel tanda istirahat kedua berbunyi bertepatan dengan mereka tiba di ruangan BP. Darra memandang bingung ke arah Vina yang sedang bersama seorang wanita paruh baya.

"Duduk kamu," kata Bu Erni, mengagetkan Darra sambil menunjuk kursi di hadapan Vina. Darra menurutinya. "Ini orang tuanya Vina. Beliau kemari karena Vina banyak mengeluhkan tentang kamu."

Darra mengangkat alisnya. Keluhan? Keluhan karena mengganggu pacarnya?

"Kamu sudah pernah saya panggil karena berkelahi dengan Vina," lanjut Bu Erni. "Sekarang saya dengar kamu berkelahi lagi dengan Vina di Cimacan kemarin?"

Darra berdehem. "Untuk masalah yang dulu itu bukankah sudah lewat? Dan saya enggak merasa saya berkelahi dengan Vina kemarin."

"Enggak ngaku, lagi! Jelas-jelas elo dorong gue sampai jatuh, terus malamnya elo siram gue pake Cola. Semua orang juga lihat, kok!" sembur Vina.

Darra melirik Vina sekilas. "Saya mendorong Vina karena dia narik-narik rambut saya. Saya enggak merasa salah, jadi saya mendorong dia untuk ngelepasin saya."

"Tapi katanya kamu yang nyuruh Vina ke taman itu terus mukulin dia," sahut ibunya Vina. Darra menoleh ke arahnya.

"Vina yang nyuruh saya ke taman lewat Sheila," ralat Darra. "Sheila nulis pesan di kertas untuk saya, dia juga nyusulin saya ke kamar, makanya saya ikut sama Sheila. Terus Vina yang mukul saya dan narik-narik rambut saya. Saya enggak melakukan apa-apa dan cuma mendorong Vina. Saya masih simpan tulisan dari Sheila, kalau Ibu enggak percaya."

Close To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang