# 35

23 5 1
                                    

Pagi itu Darra duduk di halte sambil memandang ke arah jalan. Dari kejauhan dilihatnya bus berwarna hijau yang berjalan perlahan ke arahnya. Bersamaan dengan itu, Rin nampak berlarian sambil memberi isyarat pada Darra untuk segera bersiap. Darra langsung bangkit lalu naik ke atas bus begitu bus itu berhenti di depannya.

"Jidat kamu kenapa?" tanya Rin begitu mereka sudah duduk di dalam bus

"Ini?" Darra menunjuk plester di dekat alisnya. "Biasa, kena marah tanteku."

Rin tercengang. Semalam begitu begitu tiba di rumah setelah pergi bersama Papa, Aline langsung mendatangi Darra yang sedang merapikan pakaian yang akan disetrika. Ia mengamuk karena Darra meminta izin pada papanya untuk pergi ke Cimacan. Aline juga curiga Papa memberikan uang pada Darra, jadi ia mengobrak-abrik ruangan Darra tidur. Untunglah Darra sudah menyembunyikannya di dalam salah satu dus, jadi Aline tidak bisa menemukannya. Karena kesal, Aline melempar pengki ke arah Darra dan mengenai pelipisnya.

"Enggak sakit, kok. Cuma lecet aja," kata Darra. "Tapi aku udah dapat izin dari papaku. Jadi besok aku bisa ikut ke Cimacan."

"Asyik, mudah-mudahan aja kita satu kelompok, supaya kamarnya juga diatur per kelompok. Jadi kita bisa tidur bareng!" ujar Rin bersemangat.

Setelah tiba di sekolah, Pak Rudi memanggil Darra ke ruang guru untuk diberikan daftar anggota kelompoknya. Darra keluar dari ruang guru sambil mengamati nama yang tertera satu persatu. Karena acara ini diikuti oleh seluruh kelas XII, jadi anggotanya pun bercampur dengan kelas lain. Sayangnya, karena kelompok dibagi berdasarkan huruf abjad, Darra tidak bisa bersama Rin yang bernama lengkap Evanna Arini.

"An,"

Langkah Darra terhenti begitu melihat Dika berdiri di depannya. Cowok itu menoleh ke kiri dan kanannya sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan canggung.

"Mau ke mana?" tanya Dika.

"Ke kelas," jawab Darra singkat.

Dika berdehem. "Ke perpustakaan dulu, yuk. Ada yang mau aku omongin sebentar."

Dika berbalik lalu berjalan duluan. Darra mengikutinya dengan bingung menuju perpustakaan. Setibanya di sana, Dika langsung duduk di meja di sudut favorit Darra. Ia terlihat lebih santai. Karena masih pagi, jadi perpustakaan masih kosong.

"Ada apa?" tanya Darra sambil duduk di hadapan Dika. "Mau ngomongin apa?"

Dika memandang Darra sesaat. "Kamu sama Abrar sebenarnya ada hubungan apa, sih?"

Darra memandang Dika lalu menggeleng. "Aku kan udah pernah bilang, aku sama Abrar enggak ada hubungan apa-apa."

"Terus, kenapa kemarin kamu malah pulang sama Abrar? Kan kamu udah janjian mau pulang bareng aku."

Darra langsung memalingkan wajahnya dengan gugup. "Itu... aku lupa bilang sama kamu kalau aku ada perlu sama Abrar."

"Masa sih?" tanya Dika tidak percaya. "Ada perlu apa? Emang urusannya penting banget sampai-sampai kamu lebih milih pulang sama Abrar daripada sama aku?"

"Kok kamu marah?"

Dika memandang Darra kaget. "Enggak, kok. Aku kan cuma nanya."

"Terus kenapa nanyanya marah-marah? Kan aku udah kasih tahu kalau aku ada perlu sama Abrar."

Dika memilih untuk tidak menjawab. Ia melihat kertas yang dipegang Darra. "Aku dengar kamu jadi ketua kelompok, ya?"

Darra mengangguk.

"Besok di sana jangan terlalu dekat sama Abrar, ya."

Darra mengangkat alisnya.

~***~

Close To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang