# 17

25 6 0
                                    

Darra memanggul ranselnya lalu menenteng sepatunya keluar dari ruangannya. Ia menutup pintu dengan sangat perlahan lalu berjingkat turun ke dapur. Di bawah tangga ia mematung dengan mata terpaku ke arah ruangan depan. Setelah memastikan pintu kamar Aline masih tertutup, Darra langsung keluar lewat pintu samping. Ia memakai sepatunya lalu membuka pintu gerbang dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Setelah itu Darra keluar dan menutup gerbangnya lagi dengan cara yang sama lalu bergegas pergi menjauh dari rumah.

Saat ini masih jam tujuh pagi ketika Darra tiba di terminal. Rupanya Rin sudah menunggu di sana. Darra bergegas menghampirinya lalu duduk di sebelahnya.

"Berhasil?" tanya Rin.

Darra mengangguk dengan napas tersengal.

"Berarti tinggal nunggu Agung aja, ya," kata Rin.

Hari itu hari Minggu dan mereka akan pergi ke Senayan untuk mengikuti atletik. Ujian semester telah berakhir hari Jumat lalu, kini tinggal pengambilan nilai untuk mata pelajaran Olahraga. Sebenarnya Aline tidak mengizinkan Darra pergi ketika ia bertanya semalam. Namun, karena ini berhubungan dengan nilai rapornya nanti, jadi diam-diam Darra pergi sebelum Aline bangun. Ia tidak peduli jika Aline marah saat Darra pulang nanti. Lagi pula Darra sudah menyiapkan sarapan sebelum dia pergi tadi.

"Itu dia Agung," kata Rin mengagetkan Darra.

Darra menoleh ke arah Agung yang turun dari angkot dan menunggu di bawah jembatan penyeberangan. Darra dan Rin langsung menyusulnya. Rasanya aneh melihat cowok itu hanya memakai kaus dan celana pendek.

"Gue kira lo bareng Emil," kata Agung ketika mereka berjalan menaiki tangga penyeberangan menuju halte bus Trans Jakarta.

"Enggak," jawab Rin. "Kita janjian ketemu di sana aja."

Setelah mereka tiba di halte, Agung membeli karcis untuk mereka bertiga lalu mereka masuk untuk menunggu bus.

"Aku kira kamu enggak jadi ikut. Aku hubungin nomor kamu enggak bisa terus," kata Agung, kali ini pada Darra.

"HP-ku rusak," jawab Darra. "Udah semingguan aku enggak pakai HP."

"Oh ya? Kenapa kamu enggak cerita? Mau pakai HP-ku dulu?" tanya Agung.

"Enggak usah," tolak Darra sambil membuang muka, tidak nyaman. Terutama karena ada Rin juga di sana.

"Maaf, bukannya aku mau nyinggung kamu," kata Agung buru-buru begitu melihat reaksi Darra. "Maksud aku, sementara kamu pakai HP aku dulu, supaya lebih gampang untuk komunikasi. Sementara aja, sampai kamu punya gantinya."

"Aku enggak apa-apa," gumam Darra.

Rin mendelik ke arah Agung dan memberinya isyarat agar tidak meneruskannya lagi. Agung langsung diam menurutinya.

Tak lama kemudian bus yang mereka tunggu akhirnya datang. Darra dan Rin naik ke bus duluan, disusul oleh Agung. Untunglah busnya tidak terlalu ramai, mereka mengambil tempat di kursi paling belakang.

"Gue kira lo udah berangkat," kata Agung tiba-tiba.

Darra dan Rin menoleh. Abrar terlihat berlari masuk ke dalam bus tepat sebelum pintu bus menutup. Ia dan Agung menghampiri mereka lalu ikut duduk di samping Rin.

"Kok tumben naik bis, Brar?" tanya Rin.

"Kalau perginya jauh, gue enggak bisa bawa motor," jawab Abrar.

"Emang lo belum tujuh belas tahun?" tanya Rin lagi.

"Tahun depan," jawab Abrar.

Mereka mengobrol sepanjang perjalanan, tetapi Darra tidak ikut menimbrung. Bukannya tidak mau, tapi karena kebanyakan Darra tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Ia hanya duduk memandang keluar jendela, menikmati perjalanannya. Darra belum pernah bepergian selama tinggal di Jakarta. Ia hanya ke sekolah, rumah, atau supermarket. Tempat terjauh yang dikunjunginya hanyalah rumah Dika.

Close To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang