Chapter 24

152 17 13
                                    

Beberapa menit sebelum Aqlan pergi, Ruqayah dan Iqbal sudah tiba didepan jalan rumah mereka. Aqlan yang sudah melihat kedatangan mereka langsung tersenyum dan menghampiri mereka. Dan langkah Aqlan diikuti oleh Qabila, walaupun sebenarnya Qabila bingung kenapa mertuanya datang tiba-tiba.

Kemudian Aqlan dan Qabila pun langsung menyambar kedua tangan mertuanya lalu mencium tangan mereka.

"Assalamu'alaikum, mah pah,"

"Wa'alaikumsalam. Wah sepertinya kamu sudah mau berangkat ya?" tanya sang ayah.

"Iya pah. Soalnya mendadak dan penting banget,"

"Lebih penting kerjaan daripada aku ya?" celetuk Qabila tiba-tiba. Huft, semenjak hamil Qabila menjadi moodyan.

"Nggak sayang. Kamu jauh lebih penting, tapi ini kan buat masa depan kita jadi sama pentingnya seperti kamu. Lagian aku juga jarang-jarang ke kantor baru ini lagi kan? Jadi jangan merasa aku memprioritaskan pekerjaan daripada kamu, paham kan?" dengan sangat hati-hati Aqlan memberitahu Qabila agar ia mengerti.

Bukan menjadi rahasia lagi bagi keluarga mereka, Qabila yang sedang hamil ini lebih garang dari sebelumnya. Kalau ia sudah marah tangannya reflek memukul atau mencubit pinggang Aqlan. Aqlan yang menjadi korban hanya bisa pasrah dan menerima perlakuan itu. Anggap saja kalau Qabila sedang bercanda.

Tapi yang sebenarnya terjadi adalag Aqlan kesakitan. Kembali lagi, masa iya ia tidak kuat menahan rasa sakitnya itu.

"Nah, Aqlan benar tuh sayang. Jadi kamu harus paham ya disaat situasi sedang begini," timpal Ruqayah yang membuat Qabila terdiam dan menundukkan kepala karena merasa bersalah.

Ruqayah tau Qabila sedang sedih. Jadi ia berusaha untuk menghiburnya. "Kita nggak marahin kamu kok nak, cuma nasihatin kamu saja. Jangan sedih dong nanti cantiknya hilang,"

Akhirnya senyum Qabila pun muncul.

"Ya sudah Aqlan berangkat dulu ya, sudah telat nih. Assalamu'alaikum," sebelum pergi Aqlan mencium kening Qabila dan Qabila pun mencium tangan Aqlan.

Setelah berpamitan akhirnya Aqlan pun meluncur ke kantor.

"Ayo mah, pah masuk," ajak Qabila.

"Iya, ayo," jawab Iqbal yang tak kalah bersemangat.

Pas masuk kedua orangtua Aqlan sedikit terkejut karena ada Revan dan Raisya disana. Yang ada dibenak mereka saat ini adalah siapa mereka?

Raisya melihat kedua orangtua Aqlan sedikit terperangah dan wajahnya pun menjadi pucat pasi. Ia tidak menyangka kalau yang datang adalah orangtua Aqlan.

"Assalamu'alaikum," sapa Revan.

"Wa'alaikumsalam," Iqbal berjalan mendekat Revan dan duduk disamping Revan. "Loh? Ini bukannya Raisya ya? Ngapain kamu disini?" tanya Iqbal dengan nada yang tidak suka.

"Eum–anu om....sa–saya jengukin Qabila," ucap Raisya terbata-bata.

"Lebih baik kalian pulang saja, menantu saya butuh istirahat,"

"Iya om, tidak apa-apa kita ngerti kok. Ya sudah salam ya om buat Qabila, kita pamit dulu Assalamu'alaikum," Revan mengerti kekhawatiran yang dirasakan Iqbal saat ini jadi ia tidak keberatan untuk pamit dari sana.

Namun, ketika Revan hendak beranjak dan ingin keluar dari rumah Aqlan, Raisya tidak bergerak sedikit pun. Entah mengapa rasa berat sekali untuk pergi dari sana.

"Sya! Ayo. Tau gak kehadiran lo disini tuh nggak dianggap sama om Iqbal!" Revan menarik kencang tangan Raisya agar ia ikut pergi bersamanya.

"Lepasin! Apa si mau lo Van? Gue masih sayang sama Aqlan! Gue mau nungguin dia pulang dari kantor,"

CINTA AQLAN (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang