Prologue

247 8 4
                                    

"Kamu yang saya pinang waktu itu, Mika. Kamu, hanya kamu. Di depan orang tua kamu saya mengikrarkan janji sehidup semati, semata-mata dilakukan untuk mendapatkan kamu. Mas sayang banget sama kamu, serius. Mas nggak bohong." Daffa berujar. Begitu lembut dan penuh perhatian. Meski baru saja pulang dari kantor, rasa lelah yang bertengger pada kedua bahunya pun masih terasa. Tapi semua itu tak mengurangi rasa pedulinya terhadap istrinya tersebut, Mika Ruswandi, gadis tercantik yang pernah ditemui dalam hidupnya.

Mika masih terdiam. Wajahnya tampak cemberut, menyiratkan rasa kekhawatiran yang kentara sekali. "Mas bener sayang sama aku?"

Daffa mengangguk mantap. "Jiwa raga ini Mas persembahkan untuk kamu sepenuhnya, Mika. Kalau nggak percaya coba kamu pergi ke dapur, bawa pisau ke sini."

"Mau ngapain?"

"Kamu belah dada Mas, di sana ada nama kamu. Selamanya nama kamu akan tersirat pada diri Mas yang beruntung karena bisa mendapatkan kamu sebagai pendamping hidup," kata Daffa. Mencium leher Mika, tak sungkan untuk tertawa dan menggoda istrinya itu. "Kenapa mundur? Sini duduk sama Mas. Kamu ini nakal, nanti pipi kamu Mas gigit, lho."

Mika menutup wajahnya saat berkata, "Malu."

Daffa terkekeh pelan. "Kenapa malu? Mas kangen sama kamu. Seharian kerja di kantor, Mas nggak bisa kalau harus lama-lama berpisah. Baterai Mas rasanya kosong, harus diisi ulang sama senyuman kamu."

"Mas!" Mika memberikan peringatan dengan wajah memerah. "Udah, dong. Nggak kasian sama aku apa?"

"Berarti udah nggak ngambek lagi, dong?" Daffa bertanya. Dibalas oleh Mika dengan gelengan kepala. "Oke, sekarang cerita. Kenapa kamu marah pas Mas baru aja pulang dari kantor, hm?"

"Mas sayang sama aku, 'kan?"

Daffa tertawa renyah. "Astaga, iya. Seperti apa kata Mas tadi, apa pun yang ada dalam jiwa raga ini punya kamu. Permintaan kamu juga merupakan perintah tersendiri buat Mas."

"Jadi rencana untuk punya dua belas anak itu bisa Mas batalkan?"

Pria berparas tampan itu tersenyum. Rasa-rasanya ia akan mengikuti keinginan Mika soal memiliki dua orang anak saja. Namun, Mika sontak saja dibuat kembali merasa kesal saat Daffa menjawab dengan wajah begitu polos, "Nggak bisa, Sayang."

"Malam ini jangan tidur di samping aku, Mas. Jangan sampai pertumpahan darah terjadi di antara kita."

"Lho, Mika, jangan gitu dong...," ucapan Daffa terpotong ketika sebuah bantal melayang tepat ke arahnya, disusul dengan selimut yang Mika lempar begitu saja. Tanda bahwasannya ia sudah tidak ingin mendengar satu apa pun ucapan darinya, kode keras bahwa Mika ingin mengakhiri perdebatan untuk sementara waktu. "Mika, cantikku, manisku, jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan semua dengan kepala dingin. Mas rasa-rasanya sekarat kalau begini caranya."

"Jangan sampai aku ambil pisau ke dapur buat belah dada Mas seperti apa yang tadi Mas katakan." []



/TBC/
[Tuberculosis]

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang