65. Akhir Kisah Berandal.

2.9K 198 41
                                    

"Saya ikut olimpiade karena pengen kekerasan dihapuskan, demi kalian—" Dia menyusut setetes air mata di pipi kiri, tetapi pupil mata terlalu berkaca-kaca dan tidak sanggup menahan isak tangis. "Apakah seperti ini balasan kalian? Apa kalian mau memberi apresiasi menggunakan kematian orang lain?"

Mereka semua menundukan kepala seperti merenungkan diri, tindakan salah harus dihapus. Bukan malah didukung seperti tadi. Suasana di sana menjadi sepi, hanya deru nafasnya yang terdengar lewat mix.

Evelin kembali berkata, "Jadilah orang cerdas yang membedakan antara baik dan buruk. Tidak usah cerdas otak dahulu karena paling utama yaitu bisa berkaca. Apakah diri kamu sempurna sampai bisa merendahkan orang lain?"

Guru-guru yang biasa menghina dan meragukan kemampuannya hanya bisa membisu sambil melirik dengan wajah datar. Dia tidak tahu, apakah mereka sudah menyesali perbuatannya atau belum.

"Sekian yang bisa disampaikan, terima kasih sudah meragukan kemampuan saya, maaf kalau ada salah kata maupun tingkah laku. Saya, Evelin Variska undur diri."

Evelin bergegas menyerahkan mic menuju Ibu Dona kemudian berlari menyusul Alitta yang sudah mendahului, dengan kondisi menangis tersedu-sedu.

🌾🌾🌾

Evelin berhenti berlari saat sudah berada di ujung koridor sekolah yang sudah sepi. Tidak ada seorang pun berani lewat karena tempat tersebut terkenal angker.

Evelin merasa tidak tega, hatinya bak tersayat kayu tajam. Teman yang rela mengakhiri hidup agar Evelin berhenti dihina malah mendapat hinaan.

Dia mendekati Alitta yang tengah memeluk kedua kaki kemudian merangkulnya dengan begitu hangat. Evelin itu cengeng, air matanya bahkan langsung turun saat melihat Alitta sedih.

"Menangislah sampai hati lo tenang, tapi setelah ini, jangan sampai menangis lagi!" pinta Evelin sambil menyusuti kedua pipi Alitta yang sudah dihiasi linangan air mata.

"Sekarang, gue dihina habis-habisan," ucap Alitta sambil memeluk Evelin dengan begitu erat.

"Gue akan membela lo, gue gak akan pergi kemana pun," jawab Alitta sambil mengusap-usap punggung Alitta.

"Gue gak tahu akan bertahan sampai mana." Alitta semakin tidak kuasa menahan sesak di dada.

"Dunia memang gudangnya cobaan, tapi bukan cuma lo yang gak sanggup bertahan," ujarnya, "Gue bertahan karena terpaksa, seorang anak kecil membuat hidup menjadi termotivasi. Dia adalah Eja."

Alitta menoleh dengan ekspresi tidak percaya. Bahkan dirinya sama sekali tidak mengenal Eja. Kenapa Evelin menyebut nama anak kecil seperti itu? Apakah Eja sangatlah baik sampai gadis berandal ini langsung tersenyum lebar saat menyebut nama itu?

"Eja? Gue gak kenal sama dia."

"Dia itu anak baik."

"Kenapa lo ngomong kalau Eja adalah anak baik."

"Karena Eja sudah membuat gue untuk terus bertahan, dia bisa membuat gue masih bernafas sampai sekarang—"

"Apa yang Eja lakukan sampai membuat lo gagal bunuh diri?"

"Dia berkata, 'Cobaan memang berat, tapi seberat apapun cobaan, jangan mau bertemu kematian' sambil memeluk tubuh mungil yang saat itu masih berusia delapan tahun."

Evelin tersenyum manis seorang diri setelah sadar kalau masalalu yang sudah dilewati tidak terlalu kelam, ada kenangan manis yang harus diingat agar mempunyai pelajaran hidup untuk masa depan.  

Dia menoleh menuju Alitta yang juga turut tersenyum setelah mendengarkan ucapan Eja. "Kenapa lo tersenyum kayak gitu?"

"Gue pengen punya sahabat kayak Eja—"

BERANDAL SMA ( SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang