Unsur - 3

118 35 15
                                    

Rumah yang harusnya jadi tempat berlindung, ada di mana?

-Unsur~Bab Tiga-

Ares berdiri sambil memasukkan kedua tangannya di saku. Sembari terus memandangi gadis yang juga memandangnya dari balik jendela mobilnya. Jemputan Dita sudah datang, bahkan sekarang sudah melaju, hilang dari pandangannya.

Hujan sudah reda, tapi udara dinginnya masih tinggal. Disertai kabut tipis yang membuat siapapun enggan keluar rumah saat ini. Karenanya pula, jaket milik Ares ada pada Dita sampai gadis itu pulang.

Sekarang gilirannya untuk pulang. Dia berjalan sendirian, sudah tidak ada orang di sekolah, kecuali satpam. Jalanan pun sepi, Ares sesekali mengusap lengannya, merasa kedinginan.

Lelaki itu sampai di rumahnya tidak lama kemudian. Tanpa memencet bel, dia langsung membuka gerbang. Lalu melepas sepatu beserta kaos kakinya di teras.

PLAK!!

"Kemana aja kamu baru pulang?!!"

Bukan pertanyaan manis, atau pun tawaran makan. Tamparan adalah hal pertama yang lelaki itu terima tatkala menginjakkan kaki di dalam rumah. Ini parah, namun sayangnya, Ares sudah terbiasa.

"Udah, sekarang cepet bersihin ruang tamu, bentar lagi temen-temen mama-mu dateng!"

Ayahnya lalu meninggalkan putranya begitu saja. Ares diam menahan ngilu di pipi kirinya. Berjalan masuk ke dalam kamar untuk berganti baju dan segera membersihkan rumah. Tidak ingin kembali mengundang kemarahan ayahnya.

Setelah memastikan seragamnya tersimpan dengan rapi, Ares mulai menyapu lantai. Setelah sebelumnya mengelap meja dan membuang sampah tentunya. Tidak lupa mengepel juga.

Selesai, Ares melangkah menuju dapur. Mengambil botol minumnya dan mengisinya sampai penuh. Pada saat yang sama, orang asing yang harus ia panggil mama, masuk ke sana.

"Jangan keluar kamar ya abis ini, ada temen-temen saya, nanti kamu malu-maluin lagi."

Ares mendengar tapi tidak menjawab. Setelah botol minumnya terisi penuh, ia meninggalkan dapur begitu saja. Bermaksud langsung ke kamar, tidak ingin berinteraksi dengan ibu tirinya.

Sayangnya karena itu, satu tamparan kembali diterimanya. Ayahnya tiba-tiba sudah di depan pintu. Memandangnya dengan jengkel.

"Kemana sopan santun kamu hah?! Mama kamu ngajak ngomong!" bentak ayahnya kasar.

"Maaf, dia bukan mama saya."

DUAGH!!

Ares memegang kepalanya yang membentur tembok. Ayahnya sendiri yang melempar dirinya dengan sangat keras. Seakan lupa bahwa Ares adalah anak sulungnya.

"Dasar anak nggak tau diuntung!"

"Udah Mas, udah." ucap mama tiri Ares, menenangkan suaminya.

Setelahnya keduanya pergi menjauh. Meski diam-diam mama tiri Ares melempar seringai licik kepadanya. Anak laki-laki itu ditinggalkan begitu saja.

Ares bangkit, kepalanya terasa pening. Tapi dia harus mengabaikan itu. Setidaknya dia bersyukur kali ini dia tidak harus sampai berdarah-darah.

***

Ares mengacak rambutnya sembari menghela napas. Lalu meminum air yang tadi diambilnya dari dapur. Ia baru saja selesai mengerjakan soal latihan dalam bukunya.

Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Memaksanya beristirahat sejanak dan memeriksa benda pipih tersebut. Dia pun membuka telepon genggamnya.

-
+62 0812 **** ****

|Hei
|oksigen
-

Dua pesan itu membuat otak Ares berpikir keras. Nomor tidak dikenal mana yang tiba-tiba memanggilnya dengan sebutan oksigen. Ares hampir memblokir nomor tersebut kalau saja tidak kembali mengirim pesan.

-
+62 0812 **** ****

|kok cuma dibaca sih?
|ini Dita anyway

Oh|
Nomor lu ga dikenal|
Hampir gue blok|

|jahat banget
|simpen ya
|btw aku mau masukin kamu ke grup olimpiade

Oke|

-

Entah bagaimana, tapi sudut bibir Ares sedikit terangkat. Saat dia memikirkan akan menamai kontak gadis itu dengan nama apa. Membuatnya lalu geleng-geleng, heran dengan dirinya sendiri.

Melihat Dita memaanggilnya dengan sebutan oksigen. Membuat dirinya menemukan nama yang pas untuk kontaknya.

Hidrogen 🐭

Orang-orang bisa salah paham jika melihat ini. Tapi biarlah, Ares tidak peduli. Hp hp dia, mengapa yang lain harus protes.

Belum selesai Ares mengecek pesan-pesan penting di ponselnya, ketenangannya kembali terampas. Pintu kamarnya dibuka dengan kasar. Menampakkan wajah sang ayah yang sangat malas dilihatnya.

"Susah-susah ayah sekolahin, main hp terus, mau jadi apa kamu?"

Ares tidak menjawab, tahu itu hanya akan menambah masalah.

"Cepat beresin ruang tamu, cuci piring juga, sekarang!"

Ares hanya memandangi ayahnya yang langsung pergi setelah memberi perintah. Sudut hatinya ingin merasa sakit, tapi dirinya sudah hampir mati rasa. Hampir terbiasa karena setiap hari terus begini.

Padahal dia anak satu-satunya di rumah ini. Jika dirinya berada di keluarga lain, mungkin posisinya akan jadi idaman para remaja seusinya. Apalagi ayahnya sebenarnya kaya, hanya saja bertemu wanita yang salah setelah ditinggalkan ibunya.

Sudahlah, Ares tidak punya waktu untuk bersedih. Atau ayahnya akan kembali naik ke kamarnya, tidak lagi dengan tangan kosong.

HaiiiiiAku update ni setelah delapan belas hari ninggalin work ini, maaf ya huhuu aku seperti meng-ghosting kalian-padahal emang iya-tapi aku ga berniat begitu T_T

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Haiiiii
Aku update ni setelah delapan belas hari ninggalin work ini, maaf ya huhuu aku seperti meng-ghosting kalian-padahal emang iya-tapi aku ga berniat begitu T_T

Semoga kalian tetap suka sama cerita ini ya sekalipun updatenya lama

Gracias,

Salam, Ge
-🔔

Malang, 16 Mei 2021

Unsur Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang