Unsur - 27

49 16 6
                                    

Hanya karena sesuatu tidak berjalan sesuai harapan, bukan berarti harus ada pihak yang disalahkan, kan?

-Unsur~Bab Dua Puluh Tujuh-

Pintu gerbang rumahnya terkunci tatkala Ares sampai di rumahnya. Ia lantas membuka gerbang tersebut sendiri menggunakan kunci cadangan yang ia bawa. Kemudian memasukkan motornya ke garasi, lalu kembali menutup gerbangnya.

Seperti yang biasa dilakukan, ia melepas sepatu lantas meletakkannya di rak dengan rapi. Kemudian membuka pintu rumah dengan kunci cadangan pula. Mobil ayahnya tidak ada di garasi, pasti orang tuanya tengah pergi keluar berdua.

Mumpung tidak ada siapa-siapa, Ares langsung mengistirahatkan badan di sofa ruang tamu begitu selesai mengunci pintu. Jarak SMA tempatnya berlomba enggak terlalu jauh sebenarnya kalau ditempuh naik motor. Tapi setelah melalui hari-hari melelahkan di asrama, merebahkan diri rasanya sangat melegakan.

Tidak lama, ia kemudian naik ke kamarnya. Meletakkan barang-barangnya di sebelah meja belajar kemudian bergegas mandi. Dirinya mau tidur setelah ini dan itu enggak nyaman kalau badannya bau matahari.

Tidak sampai setengah jam, Ares sudah keluar kamar mandi dengan hanya memakai celana pendek dan kaos oblong. Ganteng? Ya iyalah apalagi rambutnya masih basah. Terus diacak-acak pakai handuknya.

Dia lalu meraih ponselnya dan mengisi dayanya. Serta mengecek beberapa pesan masuk dan scroll instagram sebentar. Kemudian laki-laki itu pergi menjemur handuknya, dan mengeringkan rambut menggunakan hairdryer kemudian.

Karena tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Ares memutuskan untuk tidur dan mengistirahatkan badannya. Menikmati kedamaian yang ia punya sebelum nanti orang tuanya pulang.

***

Suara pecahan kaca menyapa telinga pendengaran Ares saat lelaki itu mulai terbangun dari tidurnya. Sambil masih mengumpulkan nyawa, ia mengecek ponsel. Pukul lima sore, ah ia belum sholat ashar.

Masih dengan nyawa yang masih berceceran alias belum terkumpul, ia mengubah posisinya menjadi duduk. Suara pecahan kaca tadi tidak lagi terdengar tatkala ia masuk ke kamar mandi pribadinya. Jadi dia pikir mungkin suara tadi hanya suara yang terbawa dari mimpinya.

Setelah mengambil wudhu dan sepenuhnya terjaga. Ares meraih sajadah dan sarung yang ia letakkan di sudut ruangan. Kemudian mulai beribadah, menghadap Tuhannya.

Akan tetapi, saat di rakaat terakhir, saat Ares hampir menyelesaikan sholatnya, pintu kamarnya digedor dengan keras. Lebih keras jika dibanding dengan yang dilakukan Della waktu kesurupan. Pintu kamarnya yang tadinya terkunci, didobrak  dan terbuka sempurna saat ia selesai mengucap salam kedua.

"DASAR ANAK BAJINGAN!"

Tanpa ragu, Adi tiba-tiba menarik kaos putranya dari belakang. Lalu menyeret anak itu keluar dari kamarnya. Melewati tangga hingga mencapai dapur. Seakan tuli akan teriakan Ares yang tercekik dan kesakitan.

Dengan ringannya lalu badan anak itu dilempar. Kepalanya membentur meja hingga berdarah. Tapi dia tetap hanya bisa diam, masih bertanya-tanya apa alasan ayahnya kali ini melakukan hal ini.

"BERANI-BERANINYA KAMU MAU KABUR DARI RUMAH HAH?!" kata Adi, sembari mendaratkan sebuah tamparan di pipi kanan anaknya.

Tunggu, kabur?

"Ayah, Ares enggak-"

Belum selesai lelaki tersebut menyangkal tuduhan ayahnya. Tendangan kaki Adi keburu bersarang di perutnya. Tidak hanya sekali, berkali-kali hingga membuat darah segar keluar dari mulut Ares.

Kendati demikian, dia masih berusaha menyampaikan apa yang sebenarnya, "Ayah, Ares enggak kabur dari rumah."

"Udah mau kabur, sekarang kamu mau bohong juga, iya?!"

Unsur Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang