Unsur - 10

66 27 6
                                    

Sepertinya, berharap kepadamu adalah sesuatu yang salah.

-Unsur~Bab Sepuluh-

Dita melihat dirinya sekali lagi di cermin. Gadis itu terlihat cantik dengan dress selutut dan polesan make up tipis. Sayangnya, tidak ada senyum menghiasi wajah cantik tersebut.

Hari ini, kedua orang tuanya pulang dari perjalanan bisnis mereka. Salah satu pelayannya menyampaikan bahwa mereka ingin mengajaknya makan malam. Padahal Dita sudah ada janji malam ini.

Ia langsung duduk tanpa bicara begitu mencapai ruang makan. Suasana ruangan itu terasa dingin. Mungkin karena mereka tidak melakukan ini untuk waktu yang lama.

"Ma, udah denger kemarin Jihan bikin penemuan lagi?" tanya sang papa, membahas kakak kandung Dita padahal ada gadis itu di sebelahnya.

"Oh ya? Yang kemarin ada di berita itu?"

"Iya, Jihan belum hubungin Mama?"

Mamanya menggeleng, "Dia pasti sibuk sama kuliahnya."

Cih, mengapa mengajaknya makan kalau yang dibicarakan hanya prestasi kakaknya? Harusnya mereka enggak usah pulang sekalian. Terbang ke tempat kakaknya saja sana.

Kalau Dita adalah anak akselerasi langganan olimpiade. Maka kakaknya-Jihanna Fadya Marissa-masih di atasnya lagi levelnya. Yang secara tidak langsung menjadi standart Dita selama bersekolah, mungkin sampai seumur hidupnya.

"Dita, gimana sekolah kamu?" tanya sang mama akhirnya.

"Ya gitu, gedungnya masih di sana nggak pindah."

Kedua orang tuanya berpandangan. Bingung harus merespon apa terhadap jawaban putri bungsunya. Sementara Dita tidak mengubah ekspresinya, datar.

"Dita, yang sopan jawabnya," tegur papanya dengan nada dingin.

Dita merotasikan bola matanya, merasa jengah, "Lagian yang ditanyain sekolah Dita mulu, papa kan bisa tau dari laporan wali kelas."

Kemudian terdengar suara sendok yang diletakkan dengan keras di atas meja. Papanya tampak tidak senang mendengar jawaban Dita. Sementara yang bersangkutan masih mengunyah dengan santai seolah tidak terjadi apa-apa.

"Apa? Mau bandingin Dita sama Kak Jihan lagi? Apa mau suruh Dita liat prestasinya Kak Gerald?"

Selain Jihan, Dita punya kakak laki-laki, Geraldy Aditya Buwana. Se-level kecerdasannya dengan saudari-saudarinya. Kini sudah bekerja di salah satu perusahaan ternama.

"DITA!"

"Kan, papa bentak Dita lagi."

Dita meletakkan alat makannya. Lelah melihat ini kembali terjadi setiap kali kedua orang tuanya pulang. Membuat dirinya menyesali mengapa dia harus lahir paling akhir dalam keluarga ini.

"Mau kamu apa sih?" tanya papanya lagi.

"Emang papa peduli? Yang penting Dita dapet piagam lagi kan semester ini?"

"DITA!" bentak papanya sekali lagi, sementara sang mama bingung harus berbuat apa.

"Sopan santun kamu kemana? Ini yang bikin kamu beda sama kakak-kakak kamu."

Gadis itu lantas berdiri dari duduknya. Sudah tidak tahan lagi duduk satu meja dengan lelaki yang sudah membesarkannya tersebut. Kalau tidak tahu diri, Dita akan memilih tidak datang untuk ikut makan sejak awal.

"Sayang, kamu mau kemana?" tanya mamanya, berharap anaknya itu tidak pergi.

"Dita ada janji, emangnya cuma mama sama papa yang bisa punya urusan?"

Unsur Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang