[3RD BOOK OF CHANCE SERIES UNIVERSE]
ok.si.gen /oksigèn/
(n) gas yang tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau, merupakan komponen dari kerak bumi; zat asam; unsur dengan nomor atom 8, berlambang O, dan bobot atom 15,9994〈O2〉
hid.ro.gen /hidro...
Hati manusia tidak diciptakan hanya untuk menguraikan racun semata
-Unsur~Bab Empat Puluh Delapan-
Senyum Dita tidak berhenti mengembang sejak awal dirinya rebahan hingga sekarang. Jihan pasti sudah sibuk meledek adiknya kalau dia melihat Dita sekarang.
Dita tidak pernah menyangka bahwa foto kelulusan favoritnya akan berlatar tempat di salah satu kamar rumah sakit. Yah, seperti yang sudah kalian duga. Penyebab senyum Dita kali ini adalah foto-foto kelulusannya di ruang rawat Ares tadi.
Sesekali ia menutup wajahnya dengan bantal, salah tingkah. Sembari menambahkan filter atau stiker menggemaskan pada foto mereka. Piagam-piagam, serta semua tanda kelulusannya tidak terlalu penting saat ini, benda itu bahkan hanya tergeletak di atas nakas.
Semuanya terasa menyenangkan, sampai seseorang mengetuk pintu kamarnya. Membuat gadis itu terpaksa mengalihkan atensi untuk sementara. Ada asisten rumah tangganya di sana, sepertinya hendak menyampaikan sesuatu.
"Malem Non maaf ganggu, saya disuruh manggil Non Dita sama Tuan, katanya diajak makan malam bareng, Den Gerald udah di bawah duluan tadi."
Dita mengerutkan dahi sebelum kemudian mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Dengan malas Ia beranjak dari atas kasurnya. Mengganti piyamanya dengan simple dress karena Vincent selalu menetapkan aturan seperti itu.
Setelah gaun merah terpasang sempurna di tubuh mungilnya, Ia langsung turun hanya dengan membawa ponsel. Tanpa memoles wajahnya sedikit pun. Tidak peduli jika mereka ada tamu atau bagaimana.
Hanya ada tiga orang di meja makan tatkala dirinya sampai. Ia mengambil tempat di sebelah abangnya. Kemudian mereka mulai menyantap hidangan setelah bersama-sama mengucapkan 'selamat makan'.
Tidak ada kecurigaan apa pun dalam diri Dita ketika ayahnya pulang lebih awal. Gadis tersebut makan dengan tenang. Mungkin suasana hati yang amat baik karena hari ini adalah hari dia diwisuda berpengaruh besar.
"Ger, kamu apa kabar?" tanya Vincent, memecah hening.
Pergerakan sendok dan garpu milik Dita terhenti. Pertanyaan barusan adalah pertanyaan yang belum pernah Dita dapat sebelumnya. Sebenarnya sudah terbiasa Ia mendengar Vincent menanyakan ini pada kakak-kakaknya. Tapi rasa ingin ditanyai juga, tidak akan hilang sekeras apa pun Ia mencoba.
"Alhamdulillah Gerald baik, sehat-sehat aja."
Vincent manggut-manggut, "Gimana kerjaan kamu di sana? Lancar? Ada perkembangan?"
Gerald menggeleng sambil menyunggingkan senyum kecil, "Enggak juga, ada penurunan pendapatan beberapa bulan terakhir, tapi Gerald lagi usaha gaet investor baru."
Dita sadar sepenuhnya bahwa setelah memberi tatapan seorang ayah kepada Gerald, Vincent melempar pandangan sinis kepadanya. Ia memutar bola matanya dengan malas. Mengalihkan pandangan ke arah lain, ke mana pun asal tidak pada ayahnya.
"Dita,"
"Etikanya berbicara sama orang lain itu gimana? Kalau di ajak ngomong sama Papa, ya lihat Papa."
"Iya, Dita minta maaf," jawab anak perempuan itu, tidak ingin menciptakan perdebatan di tengah makan malam mereka.
Akan tetapi, Vincent sepertinya sedang tidak tertarik dengan makan malam keluarga yang harmonis, "Papa dengar, kamu dapat peringkat dua pararel, ya?"
"Apa se-sulit itu dapat peringkat pertama? Se-sulit itu bikin Papa bangga?"
Sedetik kemudian, semua yang ada di ruangan, dikejutkan oleh apa yang dilakukan Dita. Dengan ekspresi datar, Dita membanting sendok dan garpunya ke lantai. Menimbulkan bunyi nyaring yang mengundang hening untuk beberapa waktu.
"DITA!"
"APA?!"
"Papa selalu nanyain kabar kalo ketemu sama Kak Gerald sama Kak Jihan? Tapi kenapa Dita beda? Seumur hidup jadi anak Papa, Dita enggak pernah ditanya kabarnya, Papa enggak pernah peduli Dita sehat apa udah gila, yang Papa tanyain selalu nilainya Dita, nilainya enggak ke mana-mana Pa! Masih ada di situ!"
"Udah berani bentak Papa kamu sekarang?!"
"Iya! Dita capek Papa, Papa bahkan gak ngasih selamat atau datang ke wisudanya Dita, Papa enggak pernah mikirin perasaan Dita sama sekali!"
"Memang kenapa Papa harus ngasih selamat? Memangnya lulus sekolah kamu bisa dibandingkan sama prestasi kakak-kakak kamu?"
"PAPA!!"
Wajah Dita sudah memerah sejak awal. Gadis tersebut mulai berkaca matanya. Tidak menyangka suasana hatinya akan dijungkir balikkan dalam sekejap oleh hanya satu pertanyaan saja.
Gerald sudah berusaha menenangkan adik bungsunya. Akan tetapi Ia sedikit kesulitan karena tangannya terus menerus ditepis selama Dita berbicara. Tapi Ia tidak mungkin hanya diam melihat kondisi panas seperti ini.
"Berhenti jadiin Dita investasi Pa, Dita ini anak Papa, bukan barang, bukan properti."
"Tapi Papa enggak membesarkan kamu buat jadi anak yang ga berguna."
"Papa udah!" Gerald berdiri dari duduknya, tidak bisa melihat Vincent terus mencerca saudarinya.
Pertengkaran mereka terhenti saat salah seorang asisten rumah tangga menyela. Rupanya ART itu tidak datang sendirian, ada beberapa orang datang bersama mereka. Orang-orang tersebut nampak familiar, ah tentu saja, ada Reinan di antara mereka.
Dita memandang ayahnya dengan tatapan tidak percaya. Ia spontan berdiri dari duduknya, tanpa menyapa tamu mereka sama sekali. Menimbulkan situasi canggung setelah kepergiannya.
Gerald yang biasanya tetap tenang, kali ini memilih untuk marah. Laki-laki berparas rupawan itu memilih untuk tidak menyambut tamu mereka sebagaima mestinya. Serta mengejar adiknya, berharap anak itu tidak mengunci diri dalam kamar.
Tepat waktu, Gerald berhasil menangkap Dita sedetik sebelum adiknya meraih pintu. Tanpa mengatakan apa-apa, ditariknya Dita ke dalam dekapannya. Bentuk ekspresi dari betapa ingin Gerald melindungi gadis tersebut dan tidak ingin dia terluka.
Gerald membawa Dita ke dalam kamar dan menguncinya. Mengingat Vincent bisa kapan saja naik dan membuat segalanya semakin runyam. Ia memeluk sambil menenangkan Dita di dalam.
"Sejak kapan Papa jadi se-jahat itu Kak?"
Gerald menggeleng kecil sambil terus mengusap-usap pundak milik adiknya. Tidak mengerti juga dengan jalan pikiran ayahnya. Jika Ia ada di posisi Dita, Gerald yakin dia akan berada di luar kendali.
Cukup lama keduanya saling berpelukan. Tapi herannya, Dita tidak menangis sama sekali. Lebih tepatnya gadis itu menahan tangisnya.
Lantas Dita melirik ke arah tumpukan kertas di atas meja belajarnya, keputusannya sudah bulat.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hawooo, aku update lagii
Hmm agak lama ya aku enggak apdet, semoga part ini enggak mengecewakan ya-!
Anyways, aku bakal lebih sering apdet karena book ini bakal selesai segera, tinggal dua part lagii ehee