Unsur - 24

57 20 15
                                    

Mana yang lebih menakutkan, tawa Mba kunti atau kemungkinan kamu bisa saja pergi?

-Unsur~Bab Dua Puluh Empat-

Pukul empat sore, pembukaan lomba olimpiade dimulai. Semua peserta dikumpulkan di aula sekolah. Mengenakan seragam sekolah masing-masing.

Acara pembukaan itu akan dilaksanakan selama satu jam. Selama itu juga Dita harus menahan kecanggungannya karena dia harus duduk di samping Ares. Sedari acara dimulai, Dita hanya memandang lurus ke depan, tidak berani menoleh.

"Nyender aja Dit, capek lo gitu mulu," bisik Ares melihat Dita terus mempertahankan posisinya selama empat puluh lima menit.

Gadis itu menurut, mengistirahatkan punggung ke sandaran kursi meski pandangannya masih lurus ke depan. Waktu satu jam terasa sangat lambat baginya. Dia ingin menangis, berharap bisa segera keluar dari sini.

Setelah lima belas menit, mereka semua dipersilahkan keluar. Seharusnya Dita bisa bernapas lega dan segera kembali ke kamarnya. Tapi sayangnya, Bu Nadira sedang tidak bisa diajak kompromi karena langsung mengajak mereka makan malam.

Apalagi sepertinya, teman-temannya kompak membuatnya harus duduk berhadapan dengan Ares. Memaksanya terus menunduk selama makan. Gadis itu juga sadar, kalau sedari tadi, teman se-timnya tersebut tidak melepas pandangan darinya.

Makan malam yang disediakan untuk mereka ada banyak. Tapi Dita hanya mengambil nasi, rawon, dan es buah. Yang lain mengambil menu beragam yang sudah disediakan.

Di tengah makannya, Dita iseng melirik manusia di seberangnya. Sialnya, mata keduanya malah bertemu. Membuat Dita harus kembali menunduk dalam-dalam sampai puncak kepalanya hampir menyentuh piringnya.

"Allahu akbar lo berdua nikah ajalah anjir!" celetuk Sierra yang sedari tadi menjadi saksi lirik-lirikan mereka berdua.

Farel menyahut, "Siapa Sie?"

"Tuh anak kimia tuh, liat-liatan doang kaga jadian."

Dengan satu kalimat itu, semua mengalihkan atensi kepada Ares dan Dita. Melempar Sierra ke segitiga bermuda jadi salah satu hal yang paling ingin Dita lakukan saat ini. Apalagi bahkan dengan semua atensi ini, Ares masih tidak berhenti memandanginya.

***

Lampu kamar yang ditempati Ares, Farel, dan Faiz masih menyala. Ketiga penghuninya masih sama-sama terjaga. Yang satu sedang mabar, satunya sedang membaca novel, dan yang satunya lagi, sedang memikirkan sesuatu.

Sekarang sudah pukul sepuluh lebih tiga puluh. Satu setengah jam setelah tadi babak penyisihan selesai dilaksanakan. Ke-empat tim mereka sama-sama lolos ke babak semifinal. Menjadi satu dari enam tim di masing-masing mata lomba.

Selama dua jam tadi, Dita dan Ares sama-sama menomor duakan perasaan canggung atau apa pun itu yang sebelumnya menyelimuti keduanya. Mereka kompak menyelesaikan soal dengan cepat dan mendapat nilai tertinggi untuk itu.

Ares ingin berinteraksi seperti biasa dengan Dita. Tapi masalahnya Dita-nya terlihat jelas sedang menghindarinya. Dia tidak diberi kesempatan untuk meminta maaf.

Situasi tetap normal sampai mereka bertiga mendengar suara langkah kaki seseorang di koridor. Bukan hal aneh sebetulnya. Akan tetapi, suaranya lumayan keras, seperti suara langkah orang yang sedang marah.

"Ada apaan sih di luar?" tanya Ares, tatkala suara langkah kaki tersebut terdengar semakin dekat.

"Lu nanya kita, kita nanya siape?" sahut Farel tanpa mengalihkan fokus dari game-nya.

Sedetik kemudian tiga lelaki tampan itu dikagetkan oleh suara pintu yang digedor dengan keras. Bukan pintu kamar mereka, pintu kamar sebelah. Mereka spontan menghentikan kegiatan masing-masing dan memilih keluar.

Unsur Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang