65 • Gemintang Cuman Sebatas Bintang-Bintang Yang Mengerubungi Rembulan

7.9K 1.2K 257
                                    

"Kakak sama Abang jatuh di mana?"

"Di jalan. Menurut Bintang?" jawab kakaknya yang paling cantik.

"Kenapa? Elu mau ngerasain juga?" tanya laki-laki itu ketus.

"Ih, enggak! Sakit tau!"

"Kalo udah tau, kenapa ditanya?"

Gemintang berlebihan, bahkan orang yang sedang sakit gigi pun tidak akan seketus pertanyaan-pertanyaannya. Kali ini dia  memang harus mengakui, bahwa otaknya tidak pernah senormal manusia yang lain. Mengapa dia baru sadar sekarang, ya?

Apapun itu, kali ini dia beristirahat di rumah gadis yang ia tumpangi motornya tadi. Harusnya, Bulan membayar biaya bensin dan jasa mengantar meski itu semua itu atas ajakan Gemintang. Namun sebagai gantinya, biarkan ia tidur dengan gratis di rumahnya yang hangat bersama sang adik yang belum berdosa--ia dapat merasakannya--wangi minyak kayu putih--bau manusia tanpa dosa.

"Mandi, Gemintang."

"Emangnya lu bunda gue?"

"Apa semua orang yang nyuruh kamu mandi itu mamah kamu?" katanya. Masih mencoba memasak makanan hangat di dapur kecilnya.

"Enggak juga. Tapi kalo lu yang suruh, oke deh, gue mandi." Bintang besar itu menyenggol Bintang kecil di sebelahnya. "Udah mandi belom lu?"

"Udah."

"Apaan?" Gemintang mengendus ketek bocah itu. Menciuminya sampai dalam. Astaga, bau kelabang. "Ini bau kelabang! Udah mandi apanya?!"

Bocah ingusan itu cuman bisa nyengir. Maka setelah itu, mereka beranjak dari rebahannya--mau mandi bersama--di bawah pancuran yang sama.

Melepas semua pakaian mereka--bermain air dan bertelanjang ria--seperti ayah yang baru pulang bekerja. Mengapa rasanya seperti itu, ya?

...

"Sekarang lu enggak usah jualan kue di sekolah lagi, Kuda Nil!" Menghentikan pekerjaan sia-sia Kuda Nil di sebelahnya yang tengah membuat adonan kue. "Karena lu tau apa? Pertama lu jelek--banget. Kedua, yang paling penting, lu udah coba ganggu aset paling berharga sekolah," sambungnya. "Enggak bakal ada yang beli kue lu!"

"Aset berharga sekolah?"

"Aya! Lu tolol banget, sih, Kuda Nil!" Mencolek pipinya dengan tepung. Membuat coretan di pipi. Seperti suku pedalaman. Gemas juga ternyata kalau di lihat-lihat. Gemintang menahan tawa di dapurnya yang hangat.

"Aku enggak mau bahas itu, Tang. Mending kamu pulang, udah malam. Bintang udah tidur juga."

"Kenapa lu ketus banget, sih? Gue cuman kasih tau lu doang. Karena lu tau? Lu udah jadi musuh satu sekolah. Emangnya lu pikir orang-orang bakal lebih bela siapa sekarang? Lu atau Cahaya?

"Kalau gue jadi orang-orang itu, gue sih bakal lebih bela Aya, karena apa? Karena dia cantik, dia baik, dia gampang bergaul, Aya udah kayak putri di film-film, enggak kayak lu, yang lu bahkan tau sendiri," hina laki-laki itu terus-menerus. "Oke! Mungkin di mata orang-orang emang lu udah cantik, udah cakep banget, lah. Tapi tetep aja, dibandingkan Cahaya. Lu beneran jauh ketinggalan. Bagai langit dan bumi, eh bukan, deh. Bagai langit dan ...." Dia menjeda kalimatnya. Mencoba berpikir.

"Kuda Nil! Iya! Bagai langit dan kuda nil!" tawanya kencang. Membuat telinga pengang. Gemintang kehabisan napas, karena tawanya lebih besar dibandingkan teriakan paus di lautan.

"Aduh, kenapa kembaran gue bego banget, ya? Dia hampir aja tergoda sama lu terus tinggalin Cahaya yang sesempurna itu? Maksud gue, seorang Aya dituker sama cewek kayak lu?" Tidak ada henti-hentinya Gemintang menggodai gadis di depannya. Tapi beneran, itu sangat menggelitik perutnya. Gemintang mau berhenti menggodanya, tetapi mengapa sulit sekali, ya?

"Yang bener aja, Kuda Nil!"

Namun bukannya marah atau apa, perempuan di hadapannya yang masih asik mengolah adonan kue supaya ia bisa jual dengan bodohnya ke teman sekolahnya hanya menyetujui. Memperendah dirinya sendiri.

"Aku emang cuman orang rendahan yang mimpinya tinggi, Tang. Enggak tahu diri, enggak tahu malu. Gimana bisa sih, orang kayak aku bisa suka sama Samudra? Gimana bisa orang kayak aku ngerebut kebahagiaan sahabatnya sendiri?" Gadis itu tertawa pahit--terpaksa. Ada setitik air jatuh di pipinya yang masih terlihat bulat.

Hati laki-laki itu sesak mendengarnya. Harusnya Kuda Nil yang dia tahu akan marah-marah pada Gemintang karena perkataannya, atau setidaknya dia hanya diam, dan pergi kemudian menginjak kaki laki-laki di depannya. Namun nyatanya dia malah memperendah dirinya sendiri, untuk Aya--untuk Samudra. Apa perasaanya pada mereka berdua begitu besar? Begitu besar hingga tidak bisa melihat apapun?

Bocah laki-laki yang bodoh ini malah mengingat Mario, sahabatnya--kekasihnya--tidak secara harfiah. Betapa Bulan sangat menyanyangi sahabatnya sama seperti Gemintang.

Gemintang kebingungan. Dia harusnya meminta maaf karena membuat Kuda Nil yang meniup hatinya menjadi seperti ini. Membuat keadaan tidak nyaman seperti ini. Harusnya dia menghibur, membuatnya tertawa. Namun Gemintang tidak pernah melakukannya, gengsinya terlalu tinggi. Harga dirinya jauh di atas langit. Maka dia cuman memperparah keadaan yang sudah terjadi.

Tertawa. "Lu baru sadar, Kuda Nil?"

...

a.n

Udah sering lama update, enggak kelar-kelar lagi ini cerita! Aku pikir cerita ini bakal sampai bab 100 kayaknya, astaga. Semoga aja enggak!

Sorakin yang nulis rame-rame!

Kalian capek enggak sih baca cerita segini panjang? Mana fiksi remaja lagi! Aduh.

Malam minggu nanti update lagi, kok. Tenang. Ada my baby Cahaya soalnya. Kalau ada dia bawaanya pengen cepet-cepet nulis.

Salam,

Manusia Tidak Tahu Diri Yang Bermimpi Sedalam Lautan

Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang