Kantung mata gadis itu menghitam. Terlalu banyak air yang ia keluarkan tadi malam dari matanya. Namun seberapa banyak pun ia menangis, tidak akan mengubah kenyataan bahwa dirinya hanyalah perempuan paling menjijikan yang ia tahu. "Bodoh!" katanya, kata itu bahkan terlalu halus untuk menghinanya sendiri.
"Eh, Bulan dateng."
"Dia nggak tau malu, ya?"
"Orang aneh kayak gitu mana tau malu, sih?"
"Ck, pagar makan tanaman."
Suara tawa kemudian--mengejek keluar begitu saja saat ia mulai masuk ke dalam kelasnya--para perempuan. Tetapi Bulan enggak peduli, dia hanya mau masuk sekolah, bunyi-bunyi menyakitkan itu sama sekali tidak menyakiti hatinya. Dia tahu, dia harus jadi kuat.
Namun kala ia melihat Cahaya yang duduk di kursinya, tanpa senyuman yang selalu ia tampilkan kepada Bulan setiap pagi--membuat hatinya hancur begitu saja. Remuk, pecah berkeping-keping. Sahabatnya--temannya yang ia sayang. Bulan mencengkram erat keranjang kue dan makanan ringan yang selalu ia jual di sekolah.
Dia berjalan menuju Cahaya, menghampirnya--mau duduk di sebelahnya--di kursinya. Meminta maaf, atau apapun itu asal Cahaya tersenyum. Namun Salma lebih dulu duduk di kursi milik Bulan. Dia memandangi Bulan, menaruh tasnya di sana dan terkekeh begitu saja.
"Sekarang gue duduk di sini, ya, Lan," katanya sembari tersenyum. Penuh kepalsuan.
Bulan termangu mendapati itu. Namun ia malah menyetujuinya. Cahaya yang ada di sana terus memalingkan wajahnya, tidak mau melihat Bulan. Siapa yang tidak akan muak?
Sinar matahari belum masuk sempurna ke dalam kelasnya, membuat segalanya menjadi tidak jelas. Bulan memperhatikan kursi kosong di belakang, ingin berjalan menuju kursi yang ditinggalkan Salma.
Namun pemilik bangku sebelumnya terlihat tidak terima--Salma memanjangkan kaki--menyelengkat Bulan saat gadis itu berjalan, membuat keranjang makanan yang harus ia jual jatuh, beberapa roti kemasan keluar dari dalam keranjang dan berserakan di lantai.
Semua yang ada di ruangan tertawa, menertawainya sampai mampus tanpa membantu.
"Makanya kalau jalan hati-hati, Lan."
"Enggak usah ditolongin, nanti juga cowok-cowok bantuin dia." Shania tersenyum, tertawa setelahnya.
"Dia kan hebat kalau urusan ini," kata mereka. "Jadi lemah!"
Bulan memunguti kue-kue jualanannya. Memasukkannya ke dalam keranjang kembali. Tidak mau terbuang sia-sia. Dia harus kuat, demi Bintang. Bulan harus memastikan bahwa Bintang bersekolah sebagaimana mestinya, setidaknya kue ini harus ia makan untuk mengurangi jumlah beras yang mesti ia masak.
Dia memunguti roti-roti itu dan memasukkannya ke dalam keranjang kembali--satu persatu. Namun salah satu roti yang terjatuh terinjak--kaki mulus milik Salma menginjak roti itu. Dia meminta maaf.
"Eh-eh, maaf ya, Lan. Gue enggak sengaja," katanya. Dia mengelurkan selembar uang. "Ini gue ganti, dipake buat sekolah ya, jangan buat rebut pacar orang.
"Audrey, mau ikut ke kamar mandi, gak?" ajak Salma. "Gue sama Aya mau ke sana."
Audrey mengangguk. Salma tersenyum, Aya tetap terlihat cantik seperti biasanya, meski senyuman itu menghilang. Sahabat-sahabatnya pergi meninggalkannya, mengucilkan gadis itu dengan kepedihan. Bulan senantiasa sendirian.
"Gue enggak tau lagi sih, Lan, harus manggil lu apa kali ini."
Bulan melihat dari mana asal suara itu.
"Lu ternyata bukan cuman Kuda Nil jelek yang bikin gempa, atau jablay yang gangguin cowok-cowok kayak Gemintang bahkan guru lu sendiri. Tapi ternyata lu juga makan temen, ya?" Dia tertawa. Shania. "Lu nggak puas emangnya ngerebut Gemintang dari gue? Masukin Pak Galang ke penjara?
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat Cantik
Teen FictionROMAN - FIKSI REMAJA | Hidup Bulan mungkin saja akan bahagia jika dia terlahir sebagai orang berada, cantik, wajahnya tidak berjerawat, dan badannya tidak besar seperti kuda nil yang selalu laki-laki itu katakan padanya, Gemintang. Memangnya kenapa...