46 • Bulan Tidak Tahu Siapa Dirinya Di Atas Sana

8.3K 1.4K 128
                                    

Gadis itu menyeret plastik hitam besar berisikan sampah dedaunan dan botol-botol plastik milik Gemintang. Ah, kalau diingat-ingat barusan, mengapa Bulan bisa mengatakan hal bodoh seperti tadi, ya? Ya Tuhan, tolong telan Bulan ke dalam tanah sekarang.

Bodoh, bodoh, bodoh. Mengapa Bulan bilang bahwa dia peduli sama Gemintang?! Mau ditaruh mana mukanya jika bertemu dia lagi? Astaga. Bulan mengacak-acak rambutnya sembari terus menyeret sekarung sampah itu. Mengapa mulutnya tidak bisa dikendalikan, sih?

Namun sebesar apapun rasa benci dia dengan Gemintang atau rasa benci laki-laki itu pada dirinya, Bulan tidak mengerti mengapa mereka terlihat saling memedulikan. Gemintang selalu terlihat peduli padanya.

"Kantong plastiknya bolong, jangan diseret!" Samudra berlari mendekat setelah memungut botol-botol yang berceceran.

"Maaf-maaf, aku enggak tau."

Laki-laki itu kemudian menaruh sampah-sampah yang berserakan tadi di kantong yang Bulan bawa, kemudian mengangkat bagian bawah kantong itu. "Gue bantuin."

Dia membuat ekspresi polos dan tampan, astaga, wangi melonnya tetap tercium meski ada berbagai macam sampah di sini! Ini yang namanya bidadari, tetapi Samudra kan laki-laki, lantas apa namanya? Apapun itu, Bulan tersenyum sendirian. Ia mengangguk, menyetujui bantuan Samudra.

Namun mengapa dia mengganti kata saya menjadi gue pada Bulan?

Hingga mereka mengangkatnya bersama-sama, kemudian membuangnya di bak sampah dekat pintu belakang sekolah. Bulan tidak bisa berhenti tersenyum melewati momen itu.

"Makasih, Dra."

Samudra mengangguk. Tersenyum lagi. Manis sekali. "Duluan ya, mau beli air."

Bulan mengangguk. Rasa sukanya masih tetap sama rupanya. Tapi apa benar dia sudah memiliki Cahaya? Mengapa mereka tidak pernah membicarakannya?

"Samudra!" panggilnya. Bulan harus bertanya, harus! Dia tidak mau menyakiti hati Cahaya--temannya, sungguh. Agar Bulan bisa menahan rasa sukanya.

"Kenapa?"

Namun saat Samudra bertanya ada apa dan menatapnya dengan mata itu dan bau melon yang menusuk hidungnya, Bulan kebingungan. Dia takut akan jawabannya yang menyakitkan.

...

Cahaya matahari menembus kelas melalui jendela kaca, orang-orang sudah pulang sedari tadi--namun Bulan masih berada di tempatnya--mengerjakan tugas--dengan Gemintang yang tertidur sedari tadi di barisan belakang. Ujian tengah semester minggu depan, dan Bulan tidak mau menyia-nyiakan waktunya.

"Punya air, nggak?" tanyanya. "Gue haus."

Bulan memberikan air mineral yang ia bawa dari rumah. "Jangan dihabisin."

Kemudian Gemintang mengambilnya kasar dan minum dengan cepat. Saat ia mengembalikan botol air itu, Bulan sadar air di botolnya telah habis.

Gemintang tertawa dan melebarkan mulutnya. Astaga, kalau bisa, Bulan mau melemparkan botol itu pada mulut Gemintang!

"Makasih, Kuda Nil yang sekarang udah cantik." Dia masih membahasnya. Kemudian mengambil tas nya yang ada di belakang, dan berjalan ingin pergi.

"Mau kemana?" lanjut Bulan. "Beliin aku air yang baru!"

"Beli aja sendiri, emang lu nggak punya kaki?"

"Kamu udah habisin air aku, ya, Tang! Tanggungjawab!"

"Kan lu sendiri yang ngasih, Kuda Nil cantik."

"Tapi aku bilang jangan dihabisin."

"Masalahnya air yang lu kasih cuman sedikit, badan gue enggak sekurus badan lu itu!" katanya mengejek. "Udah, gue mau pulang!"

Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang