13 • Bulan Menemukan Sinarnya?

13.9K 2.2K 66
                                    

Angkasa membenci Bulan. Semesta apalagi. Katakan pada mereka semua bahwa Bulan hanya gadis biasa, dia punya hati, dia ingin juga dilindungi. Namun apa? Yang mereka tahu Bulan itu kuat, badannya 'kan besar layaknya kuda nil, dia tidak akan menangis. Cengeng sekali kalau dia seperti itu.

Gadis itu hanya bisa memegangi wajahnya yang merah akibat ulah Gemintang. Bulan yakin, Gemintang sengaja. Wajahnya tetap seperti bajingan yang selalu Bulan ingat. Namun ia berhasil menghindar, sebuah ketidaksengajaan katanya. Ibu Dini percaya itu, meski ia memukul wajah Gemintang berkali-kali dengan buku absen.

Tidak ada yang peduli dengannya sekarang. Hanya Bintang--sang adik, hanya Ibunya. Tidak ada lagi. Dunia membenci Bulan, rumah satu-satunya yang menyanyangi gadis malang itu. Kasihan.

Sekarang ia berjalan pulang sendirian, sepi, hanya suara kendaraan di jalanan. Kepalanya masih kesakitan, terasa perih di kantung matanya--bola itu tepat di sana saat mendarat. Ia hanya harus pulang, hanya harus tidak peduli. Menurut kata-kata bijak yang selalu ia baca, masalah akan terus datang--dan nikmatilah. Maka Bulan tak perlu memperdulikan semua yang terjadi padanya. Tidak dengan Gemintang, tidak dengan dunia yang membencinya, dan tidak dengan badannya yang besar.

Sebuah panggilan keras membangunkannya dari lamunan. "Bulan! Mau bareng, nggak?"

Itu Cahaya. Teman kelasnya, teman SMPnya dahulu. Apa maksudnya? Ada apa dengan Aya? Apa dia kasihan dengan dirinya? Untuk apa sih si kuda nil bertubuh besar dan berjerawat ini dikasihani?

"Bulan!" panggilnya sekali lagi dari dalam mobil hitam. "Ayo naik, aku anter kamu pulang."

Bulan memikirkan segala keburukan yang akan terjadi jika ia menyetujui, bisa saja Aya malah menurunkannya di tengah jalan yang ia tidak tahu atau lebih parah lagi--mengantarnya pada Gemintang meski itu sangat mustahil. Namun wajah Aya yang manisnya melebihi es teh di depan sekolah dan mengingat gadis itu adalah mantan teman dan satu-satunya orang baik di kelasnya, maka Bulan dengan sedikit keraguan mengatakan. "Makasih, ya. Aya."

...

"Masih sakit?"

"Sedikit."

Aya menyalakan televisi yang ada di kamarnya. "Udah lama kayaknya kita enggak pernah ngobrol, padahal satu sekolah dan kelas juga sekarang."

Bulan yang duduk di ranjang merah muda bergambar kucing putih hanya terkekeh, meminum es melon yang Cahaya berikan.  Seharusnya ia sudah pulang, namun Cahaya memaksa Bulan untuk datang ke rumahnya dahulu. Jadi Bulan mengiyakan, berharap bahwa ini adalah awal dari kembalinya Aya--temannya yang sudah lama tidak pernah mendekat.

"Si Bintang pasti udah gede ya sekarang?"

"Iya, dia udah kelas satu. Tapi masih tetap lucu, kok," kekeh Bulan.

"Kapan-kapan aku mau ketemu dia, boleh?" Aya tampak antusias, wajahnya yang mulus dan memantulkan sinar persis seperti namanya membuat Bulan iri. "Kira-kira dia masih ingat sama aku, enggak, ya?"

"Terakhir kali kamu ketemu sama bocah itu pas umurnya masih empat tahun. Aku enggak yakin dia masih ingat sama kamu," jawabnya. "Kecuali mungkin kalau kamu lompat-lompat kayak bola bekel di depan dia sama kayak yang kamu lakuin dulu, aku enggak tahu. Tapi itu lucu serius, aku masih ingat."

"Maksud kamu kayak gini?" Aya melompat-lompat di kasurnya sekarang. Ia tertawa, lucu. "Kayak gini 'kan, Lan?" Kemudian dia terjatuh, kepalanya membentur dinding.

Serius, Bulan tertawa. Ada-ada saja kelakuan Aya, dia memang cantik, tapi kelakuan anehnya tidak pernah berubah--dan yang Bulan tahu, Aya hanya aneh jika di dekat orang terdekatnya. Apa Aya mulai menganggap dekat Bulan lagi?

"Ini sakit banget, loh, Lan. Serius, enggak bohong. Kamu nggak ada niatan mau nolongin aku?"

Bulan menggeleng. "Wajah kamu harus ditimpuk bola voli dulu, baru aku mau nolongin kamu, Ya."

Cahaya menyoraki Bulan. Dia buru-buru bangun dari jatuhnya, mendekat pada Bulan. Menatapnya dalam penuh arti.

"Kenapa?" Bulan tidak mengerti.

"Gemintang jahat banget, ya?"

Bulan tidak ingin mengingat anak itu.

"Ganteng, sih, tapi bejat banget. Apalagi sama kamu, Lan. Kamu kuat banget, ya, aku salut." Cahaya cerewet sekali. "Kalau aku jadi kamu, mungkin kepala Gemintang udah benjol kali aku timpuk pake sepatu."

"Aku enggak mau cari masalah, Ya. Lagipun, Gemintang itu 'kan tipe cowok yang disukain sama cewek sesekolahan."

"Aku enggak. Cuman cewek-cewek bego yang mau cowok kayak Gemintang."

"Berarti semua cewek di sekolah kita bego. Kecuali kita?" tanyanya.

Cahaya menatap ragu Bulan. Ia menahan tawa, namun tidak bisa. Bulan ikut tertawa bersama Cahaya. Yup, semua perempuan di sekolahnya itu bodoh.

"Ngomong-ngomong, kamu suka sama siapa, sih, Lan?"

Bulan berhenti tertawa. "Aku enggak suka sama siapa-siapa."

"Kamu kelainan?"

"Maksudnya?"

"Kamu udah puber 'kan? Gadis kayak aku atau kamu, enggak mungkin enggak suka sama seseorang."

"Beneran, aku enggak suka sama siapa-siapa." Bohong. Samudra ada di mimpinya.

"Kamu naif atau gimana, sih, Lan. Jujur dong sama aku...." Aya cemberut.

Tidak mungkin 'kan kalau Bulan bilang bahwa ia menyukai Samudra. Cahaya pasti akan tertawa mengejeknya, mana mungkin Samudra yang sempurna dengan bibir manisnya itu juga mau dengan Bulan. Menyukai Samudra saja sudah menjadi kesalahan besar bagi gadis dengan berat badan berlebih itu.

"Aku enggak mau kasih tahu."

"Kasih tahu dong, kita 'kan temen."

"Enggak."

"Kalau gitu kita jadi musuh aja."

"Oke."

Cahaya gemas sendiri, ia mencubit Bulan. "Serius, siapa namanya?"

Bulan mengaduh kesakitan. Ia tertawa. "Aku enggak mau kasih tahu namanya. Tapi aku deskripsiin aja ya orangnya."

"Curang. Yaudah, deh."

Bulan menarik napas. "Aku suka sama dia dari kelas satu. Dia cowok termanis yang pernah aku lihat, dia wangi, suka menolong--aku ingat saat dia nolongin anak kucing yang jatuh ke dalam got. Dan yang paling membuat aku enggak pernah berhenti melihat dia adalah...."

Bulan berhenti di sana. Mengembuskan napasnya, tersenyum. "Senyumannya, kamu pasti bakal pingsan kalau dia udah senyum, manis, kadarnya bisa bikin orang diabetes. Aku bakal betah seharian cuman buat mandangin dia."

Samudra, Pangerannya. Bulan harap ia adalah sang putri, putri yang mempunyai hidup malang, namun akan berakhir indah bersama sang Pangeran.

Cahaya tersenyum. "Jadi penasaran. Pasti dia ganteng 'kan, Lan?"

...

a.n

Jangan bunuh saya karena lama update, plis! Saya belum menikah.

Kerjaan di kantor saya benar-benar lagi sibuk-sibuknya, belum kuliah dari sore sampai malam :(

Pas tengah malam, saya harus nonton internet sehat hehehe XD

Salam,

Sang Ksatria Di Khayalannya

Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang