Pangeran tampan itu masih mengenggam erat tangan kekasihnya di kursi belakang mobil. Tangan kokoh bernadi biru membuat jantung sang pacar terpompa hebat. Samudra masih tidak habis pikir, bagaimana adiknya yang memang bodoh sejak lahir itu semakin parah kadar ketololannya? Maksudnya, ayolah, dia laki-laki, tenaganya besar--meski Bulan juga besar, namun gadis itu tetap seorang perempuan.
Samudra mendidih, serius, untuk kali ini dia benar-benar ingin meninju rahang adik kembarnya yang lahir lebih telat tujuh menit dengannya.
"Aku heran, dia kena skorsing kemarin gara-gara berantem belain Bulan. Dan sekarang, dia malah buat wajah Bulan merah? Aku enggak ngerti, Dra."
"Apalagi aku, Ya. Maksud aku, dia laki-laki. Bulan perempuan loh. Kok dia bisa-bisanya dengan kegoblokannya itu mukul bola ke arah Bulan." Samudra memperhatikan gerbang sekolahnya dari dalam mobil. Sekolah sudah mulai sepi, pulang adalah hal yang orang-orang lakukan. Dan Samudra juga ingin itu--pulang. "Pak Bambang ke mana, sih, Ya? Enggak tahu apa, kalau aku mau nonjok keteknya Gemintang di rumah? Apa perlu aku aja yang bawa mobil kamu?"
"Terus Pak Bambang ditinggal? Nanti kalau dia tersesat gimana? Dia 'kan supir kesayangan Ayah aku--eh, maksudnya bukan dalam artian yang aneh, loh, ya." Cahaya mencoba tertawa namun ia tidak bisa ternyata. "Sebenarnya aku masih enggak yakin juga kalau Gemintang ngelakuin itu sengaja, lagipula dia bilang sendiri kalau itu enggak sengaja, kecelakaan, Dra." Tangan mereka masih berkaitan erat. "Berpikir positif aja, Dra."
"Orang kaya Gemintang dipercaya? Aku semakin yakin dunia ini enggak lama lagi mau kiamat."
"Jangan ngomong kayak gitu, enggak baik." Cahaya memperingatkan.
Samudra tidak peduli. Serius, ia masih mengamuk. Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah ada apa dengan Samudra? Mengapa ia marah sekali dengan Gemintang? Padahal juga Gemintang tidak terbukti salah, itu hanya kecelakaan, kata mereka. Mengapa darah dan napas Samudra mendidih? Sebenarnya dia marah pada siapa? Apa masalahnya?
Dan akhirnya pertanyaan-pertanyaan itu ditanyakan kembali. Oleh kekasihnya, kesayangannya. "Kamu kayaknya peduli banget ya sama Bulan, Dra? Kenapa?"
Samudra tenggelam. Ia bisa berenang, namun sepertinya air itu terlalu berat.
"Kenapa?" ulang gadisnya.
"Bukannya sebagai sesama manusia kita harus saling peduli, ya? Lagipula ini juga tentang Gemintang, dia adik aku. Meski terkadang aku enggak pernah menganggap bocah itu."
Cahaya mengerutkan alisnya. "Tapi sikap peduli kamu sama Bulan beda, Dra."
"Maksud kamu?"
"Aku tahu kamu orang baik, kamu selalu bantuin orang-orang. Itu kenapa aku cinta sama kamu. Tapi sama Bulan ... beda, Dra. Aku tahu itu."
Samudra terjepit dinding putih di hatinya. Dia khawatir sama Bulan, Bulan hanya gadis biasa, perempuan itu lucu, dia lucu dan Bulan benar-benar lucu. Samudra tahu kalau Bulan selalu memandanginya sejak kelas satu--meski ia berbohong pada Bulan bahwa ia baru melihat wajahnya, Samudra juga tahu kalau Bulan suka berjalan melewati kelasnya saat jam pelajaran dan Samudra sangat-sangat tahu bahwa Bulan pernah berbicara seorang diri di belakang gedung sekolah--membaca puisi pada sebuah pohon mangga--membicarakan Samudra. Itu lucu, bagi Samudra, meski terlihat sangat aneh jika dipikirkan lagi.
Samudra menatap mata gadisnya. "Jadi maksud kamu aku suka sama Bulan? Terus aku jadi laki-laki berengsek karena ninggalin kamu demi cewek itu? Kamu mulai enggak percaya sama aku?" Pemuda itu melepaskan genggaman tangannya. "Gimana hubungan kita mau panjang, kalau kamu mulai enggak percaya sama hubungan ini." Semoga saja berhasil.
Cahaya mendesah. "Bukan gitu, Dra. Aku percaya sama kamu."
Samudra tidak bergeming.
"Maaf," katanya.
Pemuda itu hanya terus memandangi kaca mobil di depannya, tidak menoleh ke samping--Aya. Dinding itu bisa diruntuhkan, dan Samudra bisa kembali berenang. Aya terus menggoyang-goyangkan lengan Samudra. Meminta maaf. "Samudra? Maaf," ulangnya terus.
Hingga sentuhan di bibir Samudra terasa. Bibir itu saling menempel. Membuat hangat pikirannya. Ah, manis sekali katanya.
Cahaya berhenti menempelkan bibirnya di bibir kekasihnya yang paling manis sesekolah. Matanya memohon. "Maaf, ya."
Samudra bernapas. Tersenyum. Ia melihat ke arah gerbang lagi. Seseorang keluar dari sana, bukan Pak Bambang--supir mobil Aya. Namun satelit, Bulan di atas angkasa sendirian. Ia harus melihat Bulan bahagia. Samudra yakin, gadis itu pasti tersiksa hidup lebih dari setengah hidupnya di sekolah. Dan dia butuh teman sesama perempuan. Ya, dia butuh itu.
Samudra mengenggam lagi tangan kekasihnya. Ia menatap mata bersinar sang pacar dalam-dalam. "Aya?"
"Iya."
"Jadi sahabat Bulan yang baik, ya," katanya
Samudra keluar dari mobil Aya. Melambaikan tangannya. Naik angkutan umum bukan masalah bagi Samudra.
...
a.n.
Spoiler: Konflik Samudra nanti adalah yang paling saya suka XD
Salam,
Penulis Di Bawah Angkasa
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat Cantik
Teen FictionROMAN - FIKSI REMAJA | Hidup Bulan mungkin saja akan bahagia jika dia terlahir sebagai orang berada, cantik, wajahnya tidak berjerawat, dan badannya tidak besar seperti kuda nil yang selalu laki-laki itu katakan padanya, Gemintang. Memangnya kenapa...