38 • Gemintang Masih Selalu Ada Sebelum Pagi

9.1K 1.5K 81
                                    

Pemuda tampan itu memperhatikan wajah perempuan cantik di hadapannya lekat-lekat. Sang perempuan hanya bisa tersenyum kebingungan, matanya kini terbuka tajam--menusuk seperti elang.

"Jangan senyum-senyum begitu, kamu bisa disangka gila sama orang-orang."

"Kalau orang-orang mikir saya tergila-gila karena Ibu, saya sih senang-senang saja." Gemintang tertawa. Seru sekali menggodai walikelasnya yang cantik ini.

Ibu Dini terkekeh. Mata elangnya menghilang. Digantikan dengan tangan harimau yang siap memukul Gemintang memakai penggaris. Dan iya, benar, lengan Gemintang jadi sasarannya. Gemintang menghindar--geli--ia tertawa.

"Berani-beraninya kamu godain guru!"

"Saya enggak godain Ibu, lagian itu semua memang bener, kok." Gemintang tersenyum menggoda lagi. Ibu Dini siap-siap dengan penggaris plastiknya.

"Aduh, harusnya Ibu seneng bisa disukain sama saya--laki-laki paling ganteng di sekolah ini. Saya ini susah diraih loh." Gemintang berkata. "Meskipun enggak mungkin juga saya suka sama Ibu." Dia tertawa lagi.

"Udah jayus ditambah narsis, lengkap sudah. Kasihan sekali jodoh kamu kelak."

Gemintang terkekeh. Silau dari sinar matahari menembus ruangan Ibu Dini--ruang olahraga. Ibu Dini yang berkeringat dengan rambut terikat membuat Gemintang kepanasan--layaknya cacing terkena garam. Gemintang kelojotan.

"Jodoh saya 'kan Ibu."

Penggaris itu kembali melayang ke tubuh Gemintang. Astaga, Ibu Dini pasti sedang datang bulan. Harusnya Gemintang sadar. Buat apa juga dia dipanggil ke ruangan ini kalau bukan untuk menerima emosi perempuan dewasa yang sedang dalam masa lancarnya?

Maka Gemintang dengan tabah menerimanya. Asalkan dia senang. Gemintang rela dijadikan samsak. Astaga, Gemintang pasti sudah gila!

"Ibu harus nonton saya nyanyi malam minggu nanti," ajaknya. "Di kafe dekat sini."

"Buat apa?"

"Semangatin saya."

Ibu Dini terkekeh keras. Memijit jidatnya sendiri. Tidak mengerti apa-apa lagi tentang Gemintang. Namun Ibu Dini mengangguk kemudian, membuat hati dan ampela di dalam tubuh laki-laki itu terbang sampai ke langit.

"Tapi kamu harus pulang ke rumah habis itu."

Gemintang mengernyit, apa maksudnya?

"Bunda kamu cerita. Dia mau Gemintang pulang." Ibu Dini mengambil amplop di laci mejanya. Menunjukkan pada Gemintang. "Dia ngasih Ibu ini." Tentu saja uang. "Katanya, kasih ke Gemintang. Tapi Ibu yakin kamu bakal nolak, jadi Ibu bakal balikin besok kalau dia ke sini lagi."

Gemintang tertawa pahit. Mengenaskan sekali, memangnya Bunda pikir Gemintang itu manja yang tidak bisa hidup sendiri di luar? Lagipula apa peduli dia? Urusi saja pujaan hatinya dan anaknya yang baik hati--Gemintang yakin hidup mereka pasti bahagia.

"Dia kangen kamu pulang."

"Ibu manggil saya ke sini cuman buat bahas ini?"

"Gemintang ... dia nungguin kamu di luar sekolah setiap sekolah selesai. Dia mau jemput kamu. Dia mau anaknya pulang. Kamu pasti tahu itu 'kan?"

"Saya harus pergi, Bu, sekolah sudah selesai, 'kan hari ini?" Gemintang bangkit dari duduknya. Memakai sweter hitam miliknya. Tidak mau menatap mata gurunya itu.

Memangnya mengapa Gemintang harus pulang? Dia tidak pernah dianggap juga. Lalu buat apa Bunda menunggunya di luar gerbang setiap pulang sekolah setelah Gemintang pergi dari rumah? Rajin sekali sih.

Gemintang hanya harus tidak peduli, sama seperti yang selalu Bunda lakukan pada Gemintang. Dia hanya perlu melewati Bunda setiap melintasi gerbang sekolah. Hanya harus bersikap tidak ada apa-apa.

"Susah juga ya ngurusin remaja puber."

Gemintang menoleh. Menatap mata Ibu Dini dengan mata sendu. Yang ditatap tidak tenang, dia tertawa mencairkan kepanasan ini. "Jangan lihat begitu." Ibu Dini mengambil tasnya, berdiri. "Saya juga mau pulang." dia mendekat pada Gemintang. Berbisik di telinga. "Mau pulang ke rumah."

Gemintang terkekeh getir.

"Cuci kaki, cuci muka, makan, terus tidur, deh," katanya.

...

Gemintang berjalan di belakang gurunya. Tidak berbicara apa-apa lagi. Harum mawar  milik perempuan yang berjalan di depannya tidak pernah menghilang sama sekali. Mereka sama-sama diam. Gemintang harus jernih dalam berpikir, dia tidak mau kembali pulang. Dia marah sekarang dengan gurunya itu yang menyuruhnya pulang. Cih!

Hingga Samudra datang dari arah yang berbeda, dia berlari menghiraukan Ibu Dini--gurunya--ini hal yang aneh jika orang terhormat seperti Samudra bisa-bisanya tidak tersenyum dengan gurunya ini. Kemudian menabrak Gemintang dan menumpahkan jus gelas yang ia bawa di baju Gemintang.

"WOI." Gemintang menarik lengan Samudra. Meminta pertanggungjawaban.

"Enggak ada waktu buat ladenin lu, Tang! Lepas!" Samudra melepaskan cengkraman Gemintang di lengannya dengan kasar.

Samudra berlari kembali meninggalkan Gemintang dan Ibu Dini yang terkejut karena anak-anaknya. Pemuda itu penasaran bukan main kala melihat saudaranya terlihat beda seperti tadi. Maka ia mengikuti Samudra. Ibu Dini juga.

Ia melihat Samudra mengetuk ruangan Pak Galang pelan. Memanggil nama Bulan--Kuda Nil itu pastinya. Namun tidak ada jawaban. Kemudian ia menggedor lagi dengan kencang kali ini--berkali-kali--tidak ada henti.

"BULAN! BULAN!"

Memutar kenop pintunya sampai rusak. Parah. Hingga kemudian suara itu menyahut dari dalam. Suara Kuda Nil yang biasanya. Suara ia memanggil mamahnya. Seperti kecil dahulu.

"Mah...." Lagi. "Mah...."

Angin itu berhembus kembali. Memanasi hatinya yang sudah panas siang ini. Samudra mendengar itu juga--ia menendang pintu kayu itu. Mendobraknya terus-menerus.

Gemintang mengambil salah satu pot tanaman di sepanjang lorong. Melemparkan benda itu dengan kuat hingga memecahkan jendela. Ia melihat di sana--temannya--perempuan mandiri itu didekap erat oleh Bajingan di belakangnya. Mereka melihat Gemintang dari jendela, Bulan berteriak memanggil namanya. "Gemintang...." Kemudian tangan kotor itu membekap bibir perempuan yang memanggil namanya--membuat Gemintang merasa berarti.

Minyak itu menyulut api yang belum padam. Membuat api itu semakin besar. Gemintang ikut menendangi pintu kayu itu bersama Abangnya--keluarganya--Samudra. Mereka bersama-sama mendobrak pintu setan ini. Cahaya itu bergabung. Membuatnya terang bersinar hingga gerbang di depannya berhasil terbuka menabrak dinding dengan keras.

Gemintang mengepalkan tangannya. Mencengkram kerah Keparat itu. Menatapnya bengis. Menjotos pipi Anjing Liar sampai terjatuh terbaring di lantai--memukulnya lagi sampai ia puas. Tangannya sakit akibat menghajar Berengsek yang satu ini, namun tidak sesakit apa yang perempuan itu alami.

Kemudian ia berhenti. Memperhatikan perempuan yang menangis di hadapannya. Hidupnya sudah sulit, mau sesulit apa lagi setelah ini, Tuhan?!

Padam sudah api itu. Kobarannya tidak terlihat lagi. Menyisakan asap yang mengepul mengotori langit biru di atasnya.

Gemintang seharusnya sadar ia sudah teramat jauh melindungi gadis dihadapannya, tetapi mengapa angin itu selalu melewati hatinya yang kering sedari dirinya kecil?

...

a.n

Setengah perjalanan lagi.

Salam,

Pengkhayal Di Musim Hujan

Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang