Basah sudah payung yang ia bawa. Hujan mengguyurnya di malam seperti ini. Perempuan berparas ayu itu kali ini sudah lelah, mencari adiknya yang bilang ingin ke minimarket sebentar saja, namun nyatanya sang adik belum pulang ke rumah selama satu jam.
Bulan khawatir, ia berkeliling di jalanan yang ia tahu. Ingin menangis, karena Bintang adalah satu-sutunya keluarga yang dia punya. Bulan enggak mau kehilang anggota keluarganya lagi--orang yang ia cintainya lagi.
Namun saat ia memutuskan kembali ke rumahnya, karena siapa yang tahu kalau-kalau di tengah-tengah mencari Bintang--sang adik malah ada di rumah--rebahan di kasurnya yang hangat. Itukan tidak lucu. Bulan harus selalu berpikir positif.
Dan mungkin tebakannya benar. Karena rumah itu kini terdengar suara tawa yang ia kenal di antara bunyi gerimis yang membasahi rambutnya. Dan juga motor hitam besar yang terparkir di halaman rumahnya. Bulan tahu dengan jelas siapa pemiliknya.
Saat ia melangkah memasuki rumahnya, ia melihat adiknya dan laki-laki itu bermain pedang-pedangan--seperti anak kecil--sudah sekian lama Bulan tidak melihat adik kecilnya itu bermain layaknya anak laki-laki lain. Tertawa sampai tali yang ada di tenggorokan mereka putus. Bulan lega. Bintang tidak pergi meninggalkannya.
Namun cowok yang kini tergeletak di lantai karena Bintang yang mengalahkannya dalam adu pedang membuat perasaan Bulan tiba-tiba kesal. Laki-laki itu memang mirip pangerannya--Samudra--fisiknya sih mirip sekali. Tapi tidak dengan sifatnya. Aduh, Bulan ingat sekali kala dia mengejek Bulan setiap hari selama mereka di duduk bersebalahan hingga sekarang, Bulan ingat saat Gemintang pergi mengerjainya dengan bola basket atau air di danau atau apapun itu, hingga membuatnya kesakitan tubuh dan hatinya, dan Bulan ingat karena Gemintang lah yang membuat ia mendapatkan masalah setiap harinya. Itu melelahkan. Serius.
Bulan benci setengah mampus dengan sampah masyarakat ini. Bahkan sampah masyarakat mungkin adalah nama sematan yang terlalu baik baginya.
Hingga Bintang akhirnya sadar. Ia melihat Bulan berdiri memperhatikannya sedari tadi di depan pintu utama.
Bintang berlari. Menggunakan bahasa isyaratnya. "Darimana saja?"
"Dari luar, cari kamu. Kamu ke mana lama sekali perginya? Aku khawatir tahu." Bulan berkata. "katanya cuman sebentar, kamu satu-satunya yang aku punya, kamu tahu? Kalau terjadi apa-apa sama kamu bagaimana? Aku pasti nangis terus."
Bintang mengangguk. "Maaf," katanya. "Tadi aku ketemu abang itu."
"Itu kakak kamu, Bintang?" Gemintang belum sadar. "Loh, Kuda Nil?"
Malas sekali Bulan menanggapinya.
"Kok lu di sini?"
"Ini rumah aku sama Bintang."
"Lu kakaknya?"
"Menurut kamu?"
...
"Gue mau tanya sekali lagi."
"Apa?"
"Lu beneran kakaknya Bintang?" tanyanya masih sama. Berulang-ulang.
Bulan kesal sendiri jadinya menjawab pertanyaan itu. Aduh, kalau bukan karena Bintang yang senang sekali sedari tadi karena punya "teman" baru, sudah Bulan cakar wajah Gemintang yang halus itu.
"Maksud gue, adik lu 'kan ganteng masa kakaknya kayak...." Gemintang tidak melanjutkan karena mata Bulan ingin keluar dari tempatnya.
"Kalau cuman mau ngatain aku mending kamu pergi. Ini kandang aku ya, Tang. Jangan macem-macem!" awasnya.
"Loh, emang bener 'kan?" Gemintang merangkul pundak Bintang yang ada di sebelahnya. "Kamu ganteng 'kan, Bintang? Masak kakak kamu enggak terima."
Bintang mengangguk setuju. Dia melotot pada kakaknya sendiri. "Aku ganteng tahu," katanya menggunakan bahasa isyarat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat Cantik
Fiksi RemajaROMAN - FIKSI REMAJA | Hidup Bulan mungkin saja akan bahagia jika dia terlahir sebagai orang berada, cantik, wajahnya tidak berjerawat, dan badannya tidak besar seperti kuda nil yang selalu laki-laki itu katakan padanya, Gemintang. Memangnya kenapa...