30 • Samudra Selalu Menjadi Tempat Berlindung Bagi Ikan

10K 1.6K 130
                                    

"Kamu ajari apa aja ke anak kamu yang satu itu, hah?" tanya pria dewasa itu pada istrinya, pelan--penuh intimidasi.

Sang istri hanya bisa diam. Matanya berkeringat, air dari matanya keluar perlahan.

"KAMU AJARI APA?!" Ayah menggebrak meja makan di hadapannya. Hancur sudah pertahanan.

Bunda semakin menangis. Samudra kebingungan. Ingin berpegangan. Namun pada apa? Pada siapa ia harus berpegangan? Tidak ada tempat yang aman. Hening, hanya ada suara ayahnya dan televisi yang menyala sekarang. Malam memang waktu yang paling Samudra benci, karena ia tahu, malam di rumahnya selalu terasa panas.

"Kamu itu ibunya, ajari dia, jangan lembek, ngerti?" Ayah menggenggam lengan ibu kuat-kuat, ia gemas. "Saya capek kerja dari pagi sampai malam, buat cari nahfkah, supaya kalian hidup bahagia, tapi kenapa kamu enggak bisa ajari yang benar anak satu itu?!"

Bunda kesakitan. Namun ia diam saja. Ini yang paling Samudra tidak suka. Serius, untuk setiap waktu yang ia punya, ia akan memberikan segalanya agar sang Bunda bisa damai menjalani hidupnya. Karena Samudra itu sayang Bunda, lebih dari apapun.

"DENGER, NGGAK?!"

Tangan Samudra menggenggam lengan sang Ayah yang sedari tadi menyakiti Bundanya. Ia tidak bisa tinggal diam untuk kali ini. Terlalu sering ia melihat hal seperti ini terjadi.

"Bisa berhenti, Yah?" tanya Samudra. Pelan, tidak ingin menyakiti hati siapapun.

"Ini lagi satu udah berani." Ayah menempeleng kepala Samudra. "Tugas kamu itu belajar. Biar sukses. Biar hidup kamu bahagia. Jangan kayak adik kamu yang bodoh itu!"

"Jangan pernah sebut anak saya bodoh," bela Bunda.

"ANAK KITA!" bentak Ayah. "Kalau dia enggak bisa banggain nama keluarga, setidaknya enggak nonjok ayahnya sendiri karena kegagalannya itu!" katanya. "Dan kegagalan kamu juga!" Pria itu menunjuk sang istri tepat di depan wajahnya.

Ini yang Gemintang tidak tahu. Yang Gemintang tidak pernah lihat bahwa Bunda itu dikasari oleh Ayah hanya karena membela anak bungsunya itu yang tidak pernah bagus dalam pelajaran. Bunda menutupi semua yang Gemintang lakukan dari Ayah, semua hal buruk yang Gemintang buat. Namun apa balasannya? Gemintang itu tidak tahu diri di mana ia berasal. Tidak tahu ke mana arah tujuannya pergi. Tidak pernah peka pada perasaan Bunda. Samudra benci jika harus melihat apa yang terjadi dengan keluarganya.

Namun ini juga salah Samudra, Samudra tahu itu. Ia anak tertua, seharusnya ia membantu Bunda, adiknya, ayah--keluarganya. Bukan hanya diam saja menyaksikan apa yang terjadi dan melakukan hal-hal normal seperti tidak terjadi apa-apa pada keluarganya yang hampir jatuh ke dalam jurang terdalam hingga tidak ada siapapun yang mampu menolong.

Kali ini Samudra harus berani, katakan apa yang seharusnya ia katakan, bukannya kabur setiap ada hal yang seharusnya diselesaikan olehnya. Bukankah seorang pangeran itu harus menghadapi segala bahaya yang menyerang kerajaannya?

Untuk kali ini saja.

"Seharusnya kamu sadar kamu ibu dan istri kayak apa," tegasnya. "Kamu gagal!"

"Maksudnya Ayah yang gagal?"

Ayah mengernyit. Lagi-lagi ia menempeleng kepala Samudra. Itu yang sering ayah lakukan jika Samudra tidak belajar dengan giat, jika Samudra tidak mendapat peringkat di kelasnya. Namun kali ini ia menahan lengan itu untuk kedua kalinya malam ini. Pria itu tampak terkejut bukan main, karena cengkraman pemudanya yang kuat hingga menyakitinya.

"Memangnya siapa sih di sini yang gagal?" ucapnya. "Siapa yang pulang sampai malam hanya untuk mencari pekerjaan lain? Pekerjaan yang menyakiti hati keluarganya sendiri?"

"Tahu apa kamu?!"

"Tahu apa? Lalu yang kemarin Ayah bawa itu apa? Hari di mana Gemintang dipukuli, hari di mana saya jadi tersangka karena menolong keluarga saya. Lalu Ayah? Asik dengan orang lain, 'kan?"

Udara berhembus di sekitar. Tambah memanasi. Memanasi hal yang seharusnya tidak sepanas itu. "Jadi siapa yang gagal, Bunda atau Ayah?" tanya pemuda itu lagi. "Siapa si pengkhianat itu?"

Ayah terpojok. Dia tidak tahu apa yang harus diperbuat. Samudra menang. Dia akhirnya menang. Apakah ayah bisa sadar kalau selama ini keluarganya tahu apa yang ia lakukan? Dan kembali menjadi ayah yang Samudra kenal dahulu? Namun kemenangan itu sejatinya tidak semudah itu, Samudra. Tidak pernah segampang itu.

"Samudra!" Untuk pertama kalinya Bunda menampar dirinya. "Jangan jadi kurang ajar kamu sama ayah kamu sendiri." Bunda memperingatinya. Berjalan ke arah sang ayah yang terduduk di kursi sekarang. Memberikan cinta itu lagi.

Samudra tidak habis pikir. Pikirannya hilang terbang sampai ke ujung bima sakti. Dia benci ini terjadi, apa dia harus tetap menjadi anak baik? Tetap menjadi anak yang penurut untuk Bunda? Bagaimana ia bisa bertahan selama ini?

Cinta itu buta. Luar biasa butanya.

Samudra hanya bisa berdiri diam. Seperti biasanya ia--berpikir bahwa keluarganya baik-baik saja.

"Jangan diam saja, Samudra. Minta maaf sama ayah kamu."

Samudra tidak bisa berhenti bernapas. Tidak mengerti lagi jalan pikiran orang yang melahirkannya itu. Persetan dengan semua orang. Tidak dengan Gemintang, tidak dengan ayah, tidak juga dengan Bunda.

Seharusnya Samudra tidak perlu repot-repot menjadi anak yang baik demi Bunda, agar Bunda bisa bahagia dan tidak menangis tiap malam karena tidak berguna dan mencintai ayahnya sampai mampus. Toh, nyatanya, pujaan hati Bundanya itu lebih berarti dibandingkan seluruh isi alam semesta apalagi hanya seorang Samudra.

Pangeran baik itu pergi dari panggung, keluar istana yang menjerat kaki dan pergelangan tangannya, menaiki kuda putih perkasa. Ingin lari ke hutan, mencari sang putri dan mengajaknya menikah kemudian hidup bahagia selama-lamanya.

Namun ketika Samudra baru melangkah beberapa kaki dari rumah, suara-suara itu terdengar lagi. Suara Berengsek memekakan telinganya.

"Ini semua gara-gara kamu!" jelasnya. "Anak-anak baik karena ibunya juga baik, begitu juga anak-anak bodoh--mereka bodoh karena IBUNYA!"

Samudra hanya harus tidak peduli. Serius. Hanya harus tidak peduli.

Bunda itu hanya cinta sama laki-lakinya. Semua yang Ayah katakan benar, anak-anak tolol karena ibunya. Itu yang terjadi pada Samudra dan Gemintang. Lihatlah, Bunda tidak pernah mengajari apa-apa lagi setelah tahu Ayah berselingkuh, sejak anak-anaknya berumur sepuluh tahun. Yang dia lakukan hanya menangis sampai mampus.

"Maaf, saya jadi ibu yang gagal," lanjutnya. "Maaf."

Samudra bisa dengar tangisnya. Samudra kalah. Dia tidak bisa menang. Dia harus tetap bersama Bundanya. Menjaganya. Selama yang ia bisa.

Maka ia berbalik, ke rumah itu lagi.

Menjadi anak baik sekali lagi.

...

"Bunda sayang banget sama kalian berdua,' katanya. "Kamu dan Gemintang."

"Ayah?"

Bunda mengelus rambut di kepala Samudra yang ada di pangkuannya. Samudra menikmati itu di ranjangnya.

"Bunda cinta sama dia."

"Meski tahu apa yang ayah lakukan selama ini?"

Bunda diam saja. Tidak mau menjawab. Hingga hening berhenti. "Itulah cinta." katanya. "Jadi anak yang baik, Samudra."

Itulah cinta. Cinta buta istilahnya. Apapun yang sepotong cintamu lakukan, selalu terlihat baik di matamu, bukan?

...

a.n

Maafkan si Berengsek ini, ya?

Salam,

Pangeran Yang Kehilangan Putrinya,

Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang