64 • Bulan Itu Cuman Pingin Bersinar di Tempatnya

9.6K 1.3K 185
                                    

Dia berlari menjauh--pergi dari sang pangeran impiannya, itik buruk rupa yang berubah menjadi angsa putih itu harus melupakan mimpinya--menari dengan cantik di depan pangeran. Dia beneran penat--mau tidur di kasurnya yang hangat--tidur bersama adiknya dengan pelukan, karena hanya bintang itu yang dapat ia sandarkan.

Hujan itu terus turun dari mata. Bebek putih itu kotor, berantakan, seragam sekolah yang selalu ia gosok hingga licin menjadi robek--beberapa kancing hilang, badannya beraroma susu cokelat yang temannya siram, serta darah yang terus keluar dari bibirnya membuat semua terlihat tidak baik-baik saja. Keringat akibat cahaya matahari menambah penderitaan. Hingga lebam yang tidak kunjung hilang meski air mata selalu membasuhi pipinya.

Orang-orang melihat itu, beberapa di antara mereka tidak peduli, beberapa di antara mereka menggoda si gadis karena kecantikannya, namun tidak sedikit orang baik yang memanggil perempuan itu agar menepi--berhenti berjalan--membetulkan semua yang ada di dirinya.

Namun Bulan bergeming, dia terus berjalan maju, ingin pulang ke rumahnya saja. Tidak mau orang lain tahu bahwa ia menyedihkan. Bahwa ia gadis tidak tahu diri yang sebetulnya tidak perlu dipedulikan, tidak perlu dilihat, karena gadis tolol ini hanya bisa menyakiti orang lain dengan semua obsesinya menjadi cantik untuk pemuda yang terlalu baik bagi dirinya yang jahat ini.

"Cewek, mau ke mana, nih, sendirian aja?" goda seseorang di antara gerombolan laki-laki. Mereka bersiul.

"Dek, kamu kenapa?" Salah satu orang baik.

Namun Bulan terus berjalan di trotoar. Cuman mendengar suara kendaraan yang terus melewatinya dan tetes demi tetes air mata bodoh turun melewati hidung dan bibirnya. Rasanya asin. Bulan tambah menangis.

Hingga hanya ada satu suara panggilan yang bisa ia dengar di antara bisingnya jalanan, laki-laki di atas motor dengan helm yang masih terpasang di kepala--dia mengikuti dengan motornya--mengendarai pelan motor itu bersama si perempuan di trotoar.

"Kuda Nil?"

Angin berembus.

"Kuda Nil."

Mengusap air mata.

Gemintang mendesis. "Oi, Kuda Nil cantik," panggilnya lagi dari motor hitam besarnya.

Tetapi Bulan tidak mempedulikannya, dia hanya berjalan memalingkan wajahnya dari Gemintang. Agar pemuda itu tidak tahu seberapa rusaknya wajah si gadis.

"KUDA NIL?! Kuping lu ketinggalan, ya?"

Seberapa kesal pun Gemintang memanggil Bulan. Gadis itu tidak pernah peduli saat ini. Dia terlalu lelah.

"Ayo, naik. Gue anter pulang! Lagian rumah kita juga sebelahan."

Terus berjalan.

"Eh, akhirnya lo keren juga, Kuda Nil!" katanya. "Pertama kalinya liat orang nyiram air ke taik kucing bisa sekeren itu!

"Ngerti 'kan maksud gue? Si Rangga sama yang lain." Mengoceh tidak jelas. "Ya, walaupun mereka sahabat gue tapi mereka emang taik kucing banget!"

Lampu merah, Bulan berhenti saat mau menyebrangi jalan. Lampu hijau, menyebrang kemudian. Gemintang masih mengikuti.

"Kuda Nil! Lo denger, nggak, sih?! Ayo naik!"

"Kuda Nil Cantik!"

"Gue berasa martabak."

"Di kasih kacang."

Akhirnya berhenti berjalan, tanpa menoleh--pandangannya lurus. "Mau kamu apa, sih, Tang?"

"Ayo pulang, Kuda Nil yang cantik!" Tanpa beban.

Jawaban yang membuat muak.

"KUDA NIL! KUDA NIL! KUDA NIL! AKU JUGA TAU ITU, GEMINTANG!"

Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang